Kamis, 01 November 2012

postheadericon Referensi Sanggar Rias Pengantin

Ada beberapa referensi nih buat sanggar rias pengantin, yang pasti TOP deh hasil riasannya, walau nggak aku pake,,,hehehe

   Ni sanggar keren keren banget deh pokoknya, secara sering dipake sama Artis juga. hehe.
   Udah kebayang budget yang dikeluarin pasti beda dari yg lain, tapi TOP gaun gaunnya apalagi 
   make-upnya. Bikin naksir deh,,hehe...
Sanggar Liza
    Ini juga ga kalah keren, ini juga tau dari majalah UMMI spesial Islamic Wedding.
Didadeux

     Kalo ini, harganya pas banget, cuma lokasi jauh dari rumah, makanya ga dipake,hehe.
     
Segitu dulu referensinya yang lainnya aku Lupa, hehe.















READ MORE - Referensi Sanggar Rias Pengantin
Jumat, 05 Oktober 2012

postheadericon Do'a dan Hikmah Pernikahan

Do'a dan Hikmah Pernikahan


"Semoga Allah SWT menghimpun yang terserak dari keduanya memberkati mereka berdua,
meningkatkan kualitas keturunannya sebagai pembuka pintu rakhmat, sumber ilmu
dan hikmah serta pemberi rasa aman bagi umat."
(Doa Nabi Muhammad SAW, pada pernikahan putrinya Fatimah Az Zahra dengan Ali bin Abi Thalib)
Filosofi dari Sebuah "Ikatan Pernikahan"
UNTUK SUAMI
(Sebuah Syair Renungan Singkat Bagi Laki-laki)
Pernikahan atau perkawinan, Menyingkap tabir rahasia ...
Isteri yang kamu nikahi,
Tidaklah semulia Khadijah,
Tidaklah setaqwa Aisyah,
Pun tidak setabah Fatimah ...
Justru Isteri hanyalah wanita akhir zaman,
Yang punya cita-cita, Menjadi solehah...
Pernikahan ataupun perkawinan,
Mengajar kita kewajiban bersama ...
Isteri menjadi tanah, Kamu langit penaungnya,
Isteri ladang tanaman, Kamu pemagarnya,
Isteri kiasan ternakan, Kamu gembalanya,
Isteri adalah murid, Kamu mursyid (pembimbing)-nya,
Isteri bagaikan anak kecil, Kamu tempat bermanjanya ...
Saat Isteri menjadi madu, Kamu teguklah sepuasnya,
Seketika Isteri menjadi racun, Kamulah penawar bisanya,
Seandainya Isteri tulang yang bengkok, ber-hati²lah meluruskannya ...
Pernikahan ataupun perkawinan,
Menginsafkan kita perlunya iman dan taqwa ...
Untuk belajar meniti sabar dan ridho,
Karena memiliki Isteri yang tak sehebat mana,
Justru kamu akan tersentak dari alpa,
Kamu bukanlah Muhammad Rasulullah atau Isa As,
Pun bukanlah Sayyidina Ali Karamaullahhuwajah,
Cuma suami akhir zaman, yang berusaha menjadi soleh ... Amiiin
UNTUK ISTRI
(Sebuah Syair Renungan Singkat Bagi Wanita)
Pernikahan ataupun perkawinan,
Membuka tabir rahasia,
Suami yang menikahi kamu,
Tidaklah semulia Muhammad, Tidaklah setaqwa Ibrahim,
Pun tidak setabah Isa atau Ayub,
Atau pun segagah Musa, apalagi setampan Yusuf
Justru suamimu hanyalah pria akhir zaman,
Yang punya cita-cita, Membangun keturunan yang soleh ...
Pernikahan ataupun Perkawinan,
Mengajar kita kewajiban bersama,
Suami menjadi pelindung, Kamu penghuninya,
Suami adalah Nakoda kapal, Kamu navigatornya,
Suami bagaikan balita yang nakal, Kamulah penuntun kenakalannya,
Saat Suami menjadi Raja, Kamu nikmati anggur singasananya,
Seketika Suami menjadi bisa, Kamulah penawar obatnya,
Seandainya Suami masinis yang lancang, sabarlah memperingatkannya
Pernikahan ataupun Perkawinan,
Mengajarkan kita perlunya iman dan taqwa,
Untuk belajar meniti sabar dan ridho,
Karena memiliki suami yang tak segagah mana,
Justru Kamu akan tersentak dari alpa,
Kamu bukanlah Khadijah, yang begitu sempurna di dalam menjaga
Pun bukanlah Hajar ataupun Mariam, yang begitu setia dalam sengsaraCuma wanita akhir zaman, yang berusaha menjadi solehah ... Amiiin

READ MORE - Do'a dan Hikmah Pernikahan

postheadericon Menuju Hari itu

Dear my bLog,,,,ga kerasa. ternyata tinggal hitungan bulan, menuju hari itu, dan tinggal 1 bulan lagi. H-30.
Berdebar debar rasanya.
Di cek, Undangan dan souvenir dah ada, Wedding Organizer dah ada, gaunnya keren pula, jadi ga sabar,hehe.
Catering udah, Poko'nya TOP deh.
Hiburan, udah ada Musik Gambus, sebenernya kurang ngerti sih sama musik ni, tapi tak pelah daripada hiburannya Orgen tunggal alias dangdut, bikin pusing..hehe.

Tinggal siapin ilmu ilmu untuk menuju keluarga yang di RidhoiNya...
READ MORE - Menuju Hari itu

postheadericon Sedikit coretan

Kata kata buat di undangan

Do’a Cinta Sang Pengantin


Ya Allah
Andai Kau berkenan, limpahkanlah kepada kami cinta
yang menjadikan pengikat rindu Rasulullah dan
Khadijatul Qubra, yang Kau jadikan mata air
kasih sayang Imam Ali dan Fatimah Azzahra
yang Kau jadikan penghias nabi-Mu yang suci
Ya Allah
Kami bersujud memohon ridho-Mu, jadikanlah kami
pasangan yang saling mencintai dikala dekat, menjaga
kehormatan dikala jauh, salinh menghibur dikala
duka, mengingatkan dikala bahagia serta saling
mendo’akan dalam ketaqwaan dan kebaikan
Ya Allah
Sempurnakanlah kebahagiaan kami dengan menjadikan
pernikahan kami ini sebagai iabadah kepada-Mu
dan bakti cinta kami kepada Rasul-Mu
Amien….



“Dan diantara tanda – tanda kekuasaan-Nya ialah cipataan-Nya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu mendapatkan ketenangan hati dan dijadikan-Nya kasih sayang diatara kamu. Sesungguhnya yang demikian menjadi tanda- tanda kebesaran-Nya bagi orang – orang yang berfikir” (QS. Ar Rum : 21)

"Semoga Allah SWT menghimpun yang terserak dari keduanya memberkati mereka berdua, 
meningkatkan kualitas keturunannya sebagai pembuka pintu rakhmat, sumber ilmu 
dan hikmah serta pemberi rasa aman bagi umat." 
(Doa Nabi Muhammad SAW, pada pernikahan putrinya Fatimah Az Zahra dengan Ali bin Abi Thalib)
READ MORE - Sedikit coretan
Sabtu, 30 Juni 2012

postheadericon 4 Cara Menghilangkan Selulit Dengan Kopi

READ MORE - 4 Cara Menghilangkan Selulit Dengan Kopi
Sabtu, 09 Juni 2012

postheadericon Pencuri Mimpi

Penulis: Fulki Ilmi


Dan akhirnya aku pun tetap berlari. Menembus pembatas-pembatas mimpi, yang sebetulnya kuciptakan sendiri. Aku berlari, menyongsong mimpi, menjemput kebahagiaan. Tak peduli jika akhirnya sepatuku rusak. Tak berhenti walaupun aku terjatuh dan merasa sakit. Mataku hanya tertuju pada gumpalan-gumpalan harapan yang ada di depan. Aku harus berlari. Aku hanya bisa berlari. Sayup-sayup terdengar denting-denting melodi merdu. Melodi yang kekal, namun hadir tanpa lantun.
 

Pria berkumis yang belakangan kuketahui bernama Pak Salim di depanku itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku menunggu dengan dada berdebar. Beberapa bulir keringat berjatuhan. Mungkin akumulasi dari panasnya cuaca dan juga ketegangan yang kurasakan. Detik-detik terbuang. Menyisakan partikel-partikel hampa yang saling bertabrakan di rongga-rongga tanya.

“Saya suka. Ini buku pertama Anda?” Katanya sambil mengetuk-ngetukkan naskah ke meja kerjanya yang mengilap.

“Benar, pak. Itu novel saya yang pertama.” Secercah harapan menghiasi sudut-sudut hatiku.

“Belum coba ke penerbit lain?”

“Sudah, Pak. Ini penerbit kelima yang saya coba. Tentu saja setelah saya perbaiki kekurangan-kekurangannya.”

“Baik. Buku Anda akan kami terbitkan. Nanti hal-hal mengenai persyaratan dan royalti menyusul. Tunggu telepon dari kami saja. Silakan tuliskan nomor Hp Anda. Dan, maaf, siapa tadi namanya? Saya lupa,”

“Mayang, Pak. Mayang Nurmalasari.”

Akupun melangkah keluar dari ruangan itu. Segala benda yang terlihat mataku terlihat lebih semarak, lebih berwarna. Langkahku ringan sekali, seperti melayang. Rasanya aku ingin memeluk semua orang.

***

“Ayah sarankan kamu masuk ITB. Ambil saja teknik kimia. Ayah perhatikan nilai kimia kamu selalu lebih tinggi dibandingkan matematika atau fisika.”

Aku hanya diam.

“Atau mau farmasi UNPAD? Tapi jangan ambil kedokteran, ya. Kuliahnya lama. Kasian kamu.”

Akupun mengangguk pasrah. Aku takut untuk mengutarakan isi hatiku. Padahal ingin sekali aku berkata pada Ayahku, bahwa tidak hanya kimia yang nilainya tinggi di rapot. Bahasa Indonesiaku juga nyaris sempurna. Kenapa hal itu bisa luput dari perhatian Ayah?

Aku terlalu takut untuk melawan. Teringat kejadian saat aku masih kelas 2 SMA. Aku memaksa untuk masuk kelas bahasa. Aku mencintai sastra. Tapi Ayahku tetap memaksa, aku harus masuk kelas IPA. Saat itu keberanianku lebih tinggi beberapa tingkat dari saat ini, mungkin karena pengaruh hormon yang belum stabil, sehingga aku meledak-ledak. Akibatnya, aku ditampar keras sekali. Kata Ayah, aku anak yang keras kepala.

“Jadi mau yang mana? Kok diam saja?”

“Terserah Ayah. Yang mana saja boleh, Yah.” Aku mencoba tersenyum.

“Nah, bagus bagus. Itu baru anak Ayah. Nanti Ayah belikan ya formulir tesnya.”

***

Semester demi semester selanjutnya kuhabiskan dengan belajar. Berusaha menekuni apa yang menjadi beban belajarku tiap semester. Aku memang bukan peraih IPK tertinggi di jurusan, tapi tetap saja lulus dengan sangat memuaskan.

Ayahku bisa berbangga-bangga pada sahabatnya. Bahwa anak gadisnya sangat pintar. Berhasil masuk ITB dan kuliah teknik. Aku senang-senang saja bisa dibanggakan Ayah. Namun tetap saja, kadang ada kehampaan yang tidak bisa ku jelaskan.

Hari berkumpul menjadi minggu, minggu berbuah bulan, dan bulan melahirkan tahun. Masa-masa kuliah yang beratpun berakhir. Aku bisa menjauhkan diri dari segala hal yang berbau reaksi kimia. Bayangan akan kebebasan terpeta jelas. Aku berharap Ayahku sudah menganggapku cukup dewasa untuk mengambil langkah sendiri.

“Ayah lihat banyak teman kamu yang dikontrak kerja bahkan sebelum mereka lulus. Kamu bagaimana, Mayang?”

“Mayang masih letih, Yah. Boleh kan kalau santai dulu barang beberapa bulan?”

“Oh jadi anak Ayah ini mau jadi pengangguran dulu ya? Iya gak apa-apa. Santai saja, Nak. Nanti kalau sudah cukup istirahatnya, bilang Ayah. Nanti ayah carikan lowongan yang pas buat kamu.”

Akupun mengangguk pasrah. Apa memang aku masih harus dipapah dalam setiap langkah hidupku? Apakah semua nasib anak tunggal seperti aku? Apakah masih harus ditunjukkan setiap lubang di jalan, setiap tikungan, setiap tanjakan? Kapan aku dianggap dewasa?

Akupun lalu membuka laptop. Aku ingin menuliskan semua yang kurasakan. Sampai sedetail-detailnya. Tanganku menari dengan lincah. Tapi tetap saja tidak bisa mengimbangi kecepatan kata-kata yang meluncur deras. Semuanya berebutan untuk dituangkan. Seperti air bah, akupun kesulitan mengendalikan luapan emosiku.

***

“Mayang, kamu masih belum mau bekerja, Nak?” Ibuku menyodorkan segelas teh manis padaku yang sedang asyik membaca novel.

“Ayah nanya ya, Bun?” Ibu mengangguk.

“Iya. Bukankah kamu sudah 6 bulan di rumah saja. Membaca bertumpuk-tumpuk novel. Tidak bosan?”

Aku menyelipkan pembatas buku di halaman yang sedang ku lahap, lantas menutup bukunya.

“Mayang tidak mau kerja, Bunda. Mayang sudah lelah mengikuti kemauan Ayah. Mayang mau jadi penulis. Dengan atau tanpa persetujuan Ayah.”


Ibuku terdiam. Matanya bergerak-gerak gelisah. Siapa lagi yang paling mengetahui karakter Ayah selain ibuku ini?

“Mayang... Ijazah teknik kamu itu mau diapakan? Sayang, kan? Kamu bisa menulis di sela-sela pekerjaan kamu. Dengan begitu, kamu masih bisa punya penghasilan besar, juga bisa menekuni hobi kamu. Bagaimana?”

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Ini hidupku. Biarkan aku yang mengisinya, tekadku dalam hati.

***

Naskah itu telah ku selesaikan. Kumpulan alfabetis yang sudah mulai kuguratkan saat masih kelas 1 SMA. Aku sudah bertekad bahwa aku akan menjadi penulis. Aku ingin mengisi hidupku dengan impian-impian yang kutuangkan dalam bentuk cerita. Dalam bentuk artikel, puisi, cerpen, novel, prosa, apa saja.

Akan kusentuh orang tua yang kurang memperhatikan anaknya. Akan kusindir pemerintah-pemerintah yang lupa pada rakyatnya. Akan kupacu semangat mereka, orang-orang yang berkutat dengan peluh dan luka untuk bisa mengisi perutnya. Semuanya akan aku sapa. Dimulai dari laptop kecil yang ada ditangaku, dengan jemari sebagai pedangnya, aku tidak hanya menulis, tapi juga membangun peradaban. Ya, mimpiku telah mulai mewujud bentuknya.

Sudah kuputuskan karya pertamaku adalah karya yang sudah mengendap di laptopku selama bertahun-tahun. Karya iseng yang kutulis saat aku kelas 1 SMA itu kini sudah rampung. Tidak bisa dipungkiri dalam penulisan novel pertamaku itu latar belakang pendidikanku yang berbau kimia ikut muncul. Ternyata memang hal yang paling mudah adalah menuliskan apa yang setiap hari kita jumpai. Dengan penuh harapan akupun langsung mengirimkan naskah ke penerbit mayor.

“Mau kamu apa sih?”

Masih terngiang bentakan dari Ayah beberapa bulan yang lalu. Tapi aku tidak gentar. Gemetar-gemetar yang menyelusup kucoba sembunyikan rapat-rapat.

“Mayang ingin menulis. Mayang ingin membangunkan orang-orang yang saat ini sedang tidur.” Aku memberanikan diri untuk menatap matanya. Berusaha menunjukkan bahwa aku tidak sedang main-main.

“Hah? Kamu harusnya ngaca dulu mau bicara kayak gitu! Yang tidur itu kamu! Sarjana teknik milih jadi pengangguran? Dimana otak kamu, Mayang?”

Untunglah saat itu aku bisa mengendalikan diri dan tidak ikut emosi. Akhirnya muncul kesepakatan. Jika pada tahun ini, yang berarti tersisa enam bulan lagi, bukuku berhasil terbit, Ayah akan mengizinkan aku menjadi penulis. Tapi jika tidak, maka aku harus bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikanku itu.

Aku yakin bahwa aku mampu. Seyakin menunggu mentari esok yang pasti terbit.

***

“Ayah... Novelku sedang dalam proses penerbitan!” Aku berteriak senang.

“Benarkah?” Alisnya naik sebelah.

“Tepati janji Ayah, ya! Mayang tidak harus kerja, kan?”

“Sesukamu sajalah.” Katanya sambil masuk ke kamar.

Akupun merasa menang. Setelah ditolak empat kali, penerbit kelima mau menerima karyaku. Mulai sekarang aku bisa melukis macam-macam mimpi, di kanvasku sendiri. Mimpi yang kemudian bisa kubagikan pada banyak orang.

Handphoneku bergetar, lalu menyanyikan lagu favoritku. Sederet nomor tak dikenal berkedip-kedip di layar.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam. Ini dengan Mbak Mayang, ya? Saya Asti. Saya editor yang akan mengedit novel Mbak Mayang.”

“Oh iya, Mbak. Terima kasih. Ada yang bisa saya bantu?”

“Naskah hardcopy Mbak Mayang yang kemarin masih di Pak Salim. Beliau sedang ke luar kota dan tidak akan kembali dalam waktu dekat. Katanya naskah Mbak Mayang terbawa. Bisa Mbak kirim ulang? Via e-mail saja.”

“Baik, Mbak. Terima kasih. Saya akan segera kirim.”

Setelah mencatat alamat e-mail yang dimaksud, akupun berjalan menuju garasi. Laptopku ada di dalam mobil. Namun sampai di garasi aku mengerutkan kening. Lalu menepuknya pelan.

“Oh iya ya. Tadi kan aku parkir di luar rumah.” Aku lupa, mobil memang belum dimasukkan ke garasi, masih kuparkir di pinggir jalan dekat rumah. Tadi saat pulang, sudah diklakson berkali-kali tidak ada yang membukakan pagar, apalagi pintu garasi.

Aku melihat mobilku masih terparkir di tempat yang sama. Namun tiba-tiba kepanikan dan rasa takut berebut mendominasi perasaanku. Kaca di bagian pinggir mobilku pecah. Serpihan-serpihan kaca bertebaran di mana-mana.

Aku berlari, memaksa kakiku untuk bergerak walau rasanya tulang-tulang di kakiku mendadak hilang. Rasa takutku terbukti. Laptop yang tadi kusimpan di kursi depan sudah tidak ada. Aku teringat pada mimpiku yang sebentar lagi mewujud. Haruskah ia pergi tanpa pernah benar-benar datang? Mimpiku dicuri! (*)

READ MORE - Pencuri Mimpi
Rabu, 28 Maret 2012

postheadericon Jadi Muslim kaya itu harus

Mauku, Keinginan ku seiring dengan keinginanNya
Itu berati yang aku butuhkan.

Jadi Muslim kaya itu harus, no takabur.
Muslim Miskin boleh, No Kufur

Kebanyakan Pendapat Kaya itu identik dengan Jumlah Harta.
Sepertinya tidak seperti itu deh, coba klo orang itu kaya Harta, tapi Miskin hati, moral.
Apa yang terjadi klo tiba2 hartanya Ludes? 
Yang ada Strees,,,dan masuk Rumah sakit Jiwa,,,dan kasus lainnya..

Beda lagi kalo orang yang Kaya harta di Iringi dengan Keimanan, 
Dijamin ga kan kaya gitu, klo kaya gitu, samperin ane ke rumah,,hehhe.
Kalo ada yg ngaku2 dah punya Iman, tapi masih setres, 
Mungkin Iman cuma diucap, bukan dirasakan,,,,

Tadi yang kaya,
Sekarang yang Miskin, 
Siapa yang mau Miskin?
aku sih nggak,
Sebagai Umat Nabi Muhammad,, aku sih mau teladani Beliau, 
Orang yang dititipkan harta melimpah, tetapi tetap sederhana dalam bersikap.
Alesan ga mau miski?
Karna Kemiskinan itu mendekatan kepada Kekufuran,
Liat aja diberita2, orang yang merasa terhimpit ekonominya, 
banyak yang Bunuh diri, ampe ngajak anaknya segala,,,
Kasian banget ya anaknya,,hehehe..

Pintaku,, Jika aku dikehendaki Untuk dititipi Harta Lebih, Jangan kehendaki aku u/ takabur.
              Jika di titipi harta sedikit, Jangan Biarkan aku Kufur.

SO,,,,Kenapa Kaya itu Harus?
Silakan jawab sendiri, Trims

Siti Juhariah



READ MORE - Jadi Muslim kaya itu harus
Kamis, 01 Maret 2012

postheadericon Puisi Dari Sahabat

Tulisan dari sahabat lewat Inbox fB.
^_^


met ultah sahabat!

kata utk mwakili maksud hati,
Smentara tulisan skedar mwakili khadiran diri,
Do'a q utk mu di hari kelahiranmu,

Sahabat,
Slamat ulang tahun yachhh!!
Smoga dgn brtambahx usia mk brtambh pula kbahagiaan utk mu,
Smoga allah swt slalu mnyayangimu, mnjagamu_mlindungimu dgn karunia & ampunannya

; cintanya yg ta pernh berksudahan_

Sahabat,
Smoga allah swt mmudahkan jaln hidupmu, mndekatkanmu pd tujuan hidupmu,
Smoga allah swt mmbantumu menggapai cita&cinta yg indh dlm jalnNYA
Smoga do'a q mampu mmnuhi scercah asa dlm hatimu&smoga asa{k'inginan dlm hati}mu tlah mnjdi do'a2q & semoga smw do'amu jg mnjadi do'a2q_
Dan smoga allah swt bs mnrima smw do'a q utkmu
Aminn,aminn,

{smoga brkenan_
Ta ada kue&lilin ulangtahun_
Skedar do'a yg trpanjatkn dgn ikhlas dr sahabat yg mungkin trlupakan_}

READ MORE - Puisi Dari Sahabat
Jumat, 03 Februari 2012

postheadericon KARPET

Penulis: Muhammad Saleh




TIDAK ada satu pun penduduk kampung yang tahu, siapa yang meletakkan karpet itu di dalam masjid. Tahu-tahu sudah tergeletak begitu saja di dekat tiang penyangga masjid. Pak Kasim, marbot masjid itu yang menemukannya pertama kali. Ketika ia menyalakan lampu masjid untuk mengumandangan azan subuh, ia melihat sebuah gulungan besar berbungkus plastik. Ketika ia membukanya, ternyata sebuah karpet besar berbentuk sajadah.
Kabar itu cepat menyebar seseantero kampung. Menjadi pembicaraan hangat di sebuah warung pagi itu. Kalau tadi malam ada orang yang menghadiahi masjid mereka sebuah karpet baru.
“Kira-kira siapa orang dermawan yang menghadiahi masjid kita karpet baru itu?” tanya seorang warga. Mulutnya dengan lahap menyantap pisang goreng yang masih hangat.
Semua warga saling pandang. Kali saja ada yang bisa menjawabnya. Semua mengangkat bahu. Lalu, seorang pemuda tanggung yang duduk di kursi paling ujung menyahut.

"Entahlah... yang pasti bukan Haji Karmo. Dia kan orangnya hitung-hitungan dan pelit lagi.”
Semua yang ada di warung itu tergelak mendengarnya. Siapa yang tak tahu dengan Haji Karmo, orang terlanjur kaya yang low profile. Namun pelitnya minta ampun. Jika memberi pasti ada maunya atau mendatangkan untung buatnya.
Hingga kabar tentang karpet itu terdengar juga sampai ke telinga Haji Karmo. Ia berang mendengarnya. Siapa yang telah berani menandinginya dalam hal bersedekah? Siangnya, Haji Karmo langsung berangkat ke masjid itu. Membuktikan apa benar berita yang ia dengar.
Sesampainya di masjid, beberapa warga telah berkumpul, sebab waktu zuhur sebentar lagi akan datang. Sambil menunggu waktu shalat masuk, tak henti-hentinya beberapa warga membicarakan tentang karpet misterius itu di dekat tempat wudhu.
“Mungkin orang yang memberi karpet ini tak ingin dianggap riya. Jadi ia meletakkannya pada malam hari.” Kata Dirman memulai pembicaraan.
“Iya. Saya kira juga begitu. Tapi saya jadi penasaran, siapa orangnya, ya?” sahut bapak berkumis tebal sambil merapikan sarungnya.
“Yang jelas dia orang baik. Kita doakan saja agar rezeki orang itu semakin dibukakan oleh Allah.” Tambah Haji Makmur, imam masjid itu.
Mendengar itu, telinga Haji Karmo semakin panas. Ia tak tahan mendengar orang lain di puji-puji selain dirinya. Haji Karmo pun ikut nimbrung.
“Pak Haji Makmur ini gimana sih, cuma pemberian satu karpet itu saja dibesar-besarkan. Tak ingat apa? Dulunya saya penyumbang terbesar pembangunan masjid ini, saya biasa-biasa saja,” imbuh Haji Karmo mengingatkan.
Memang, Haji Karmo lah yang memberikan dana cukup besar untuk merampungkan masjid kebanggaan kampung itu. Sehingga seluruh warga memujinya. Sejak saat itulah orang yang sudah dua kali pergi ke tanah suci ini menjadi haus akan pujian.
Haji Makmur saling pandang dengan dua orang di sampingnya. Si bapak berkumis tebal tersenyum tipis. Lalu ia berujar, “Kan tak ada salahnya, toh, Pak, kita membalas kebaikannya dengan mendoakannya.”
Kalau terus di puji-puji, nanti dia akan sombong,” Haji Karmo masih tak terima. “Lagian belum tentu juga duit yang ia pakai untuk membeli karpet itu dari duit yang halal. Bisa sajakan duit dari mencuri atau korupsi.”
Jangan ber-suuzhon, Pak,” potong Haji Makmur, “Biarlah Allah yang membalas kebaikannya.”
Haji Karmo masih ingin menyahut, namun terhenti ketika mendengar suara bedug yang dipukul oleh marbot. Menandakan waktu zuhur telah sampai. Namun, bukannya mengambil air wudhu, Haji Karmo memutar tubuhnya untuk pulang.
Lho... tak shalat zuhur berjamaah, Pak?” tanya Haji Makmur
Saya tak mau shalat di masjid ini lagi, kalau masih memakai karpet yang tak jelas dari mana dan siapa.” Sahut Haji Karmo ketus. Ia mempercepat langkahnya meninggalkan halaman masjid.
Haji Makmur menarik napas dalam sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan Haji Karmo.
***
Dua hari sejak kejadian itu, Haji Karmo semakin gelisah. Ia uring-uringan dan marah-marah tak karuan. Semua pegawai yang bekerja di rumahnya merasa heran. Ada apa dengan Haji Karmo?
Orang-orang masih membicarakan si pemberi karpet misterius itu. Memuji-mujinya, bahkan ada yang bilang, orang itu lebih baik dari Haji Karmo. Sehingga Haji Karmo semakin tak tenang.
“Bukannya bagus toh, Pak, ada yang memberi masjid itu karpet baru. Jadi kita tak perlu keluar duit untuk membelikannya,” kata Hajjah Sarminah, istrinya, melihat kegelisahan suaminya.
“Kalau masalah itu, bapak juga setuju, Bu. Tapi bapak tidak senang orang-orang terus memuji-mujinya. Seharusnya kan bapak yang dipuji-puji sebagai donator terbesar masjid itu.”
“Ya cari tahu siapa orangnya, Pak. Jadi kita tahu, apakah dia lebih kaya dari kita atau sebaliknya.” Hajah Sarminah memberi usul.
Haji Karmo menimbang-nimbang sesaat, sambil menghirup teh hangatnya. Apa yang dikatakan istriku benar juga, batinnya. Lalu, Haji Karmo memanggil Udin, tukang kebun rumahnya, untuk mencari tahu siapa pemberi karpet itu.

Malam ini hujan turun dengan deras disertai petir yang menggelegar. Angin bersiut-siut menampar dedaunan. Semua warga kampung lebih memilih bersemayam di rumah bertemankan selimut tebal, daripada begadang di pos ronda.

Di sebuah jalan yang penuh air, Mak Saudah–demikian orang-orang kampung memanggilnya, walau sebenarnya ia tak mempunyai anak–tertatih membawa sesuatu dalam dekapannya. Kepalanya hanya dilindungi sebuah payung kecil, dengan kawat kisinya sudah banyak yang pengkor.


Ia menuju masjid, ada sesuatu yang ingin diletakkannya di sana. Seperti tiga hari yang lalu, ia dengan susah payah membawa gulungan karpet menuju masjid dan ia letakkan di dekat tiang penyangga. Kali ini ia membawa sebuah mikrofon baru, sebab sudah dua hari ini ia tak pernah mendengar suara azan berkumandang, dikarenakan mikrofon masjid rusak.


Sengaja ia meletakkannya di malam hari, agar tak ada satu wargapun yang tahu. Ia tak ingin nanti ditanya-tanya warga, dari mana ia mendapatkan uang untuk membeli karpet dan mikrofon itu, sedangkan ia orang miskin.


“Biarlah Allah saja yang tahu.” Ucap batinnya.
Dengan susah payah menerabas air hujan, Mak Saudah sampai juga di masjid itu. Segera ia membuka pintu masjid yang memang tidak dikunci, lalu ia letakkan mikrofon itu di atas mihrab, agar mudah ditemukan. Lalu ia cepat-cepat kembali ke luar, sebelum ketahuan oleh marbot yang mungkin sedang terlelap di ruang belakang masjid.


Mak Saudah tak tahu, sedari tadi sepasang mata memperhatikannya. Ia tak sengaja melihat Mak Saudah menuju masjid, lalu ia mengikutinya. Hujan-hujan begini, dia juga lebih senang berada di rumah. Namun, karena anaknya sakit perut, ia harus membelikan obat ke warung di ujung kampung.


Ia tersenyum, kabar ini akan membuat Haji Karmo senang, pikirnya. Dan ia akan dikasih uang, seperti yang dijanjikan Haji Karmo padanya.
***
Mikrofon baru yang ditemukan marbot di atas mihrab kembali menyebar ke seantero kampung. Kembali menjadi pembicaraan hangat di warung, pagi itu. Kalau tadi malam ada orang yang menghadiahi masjid mereka sebuah mikrofon baru lagi.
“Aku jadi semakin penasaran, siapa orang baik itu,” kata seorang warga, yang disambut anggukan oleh warga yang lain. Mereka juga sama penasaran.
“Saya tahu orangnya.” Sahut sebuah suara. Semua warga cepat berpaling ke arah suara.Haji Karmo telah berdiri di luar warung sambil tersenyum lebar. Pagi-pagi sekali, Udin telah memberitahukan kepadanya, siapa yang telah meletakkan mikrofon itu, dan juga karpet misterius.
Tak ada warga yang percaya dengan ucapan Haji Karmo, bahwa Mak Saudah lah orangnya.
“Haji Karmo ini ada-ada saja, tak mungkin lah Mak Saudah yang miskin, bisa membeli karpet dan mikrofon yang mahal itu,” protes seorang warga.
“Sebaiknya kita tanyakan langsung pada orangnya.” Haji Karmo lalu mengajak orang-orang untuk mendatangi rumah Mak Saudah. Ada sebuah niat licik yang terbersit di hatinya.
Mak Saudah yang sedang menyapu daun-daun kering di halaman rumahnya yang kecil, kaget bercampur bingung. Kenapa tiba-tiba warga mendatanginya?
Warga bertanya, apa benar dia yang memberikan karpet dan mikrofon itu? Mak Saudah semakin bingung, dari mana warga tahu kalau ia yang meletakkan karpet itu di dalam masjid.
Mula-mula Mak Saudah enggan menjawabnya. Ia mencoba berbasi-basi. Namun beberapa warga terus mendesaknya.
“Jawab saja lah Mak, kami hanya ingin tahu.”
Mak Saudah menatap semua warga bergantian, termasuk Haji Karmo yang berdiri paling depan. Raut muka Mak Saudah tiba-tiba berubah sedih, lalu ada butiran bening mengambang di sudut mata tuanya.
Hiks.... kalian semua tentu tahu, aku hanya seorang perempuan malang dan miskin. Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, juga tak punya seorang anak pun seperti kalian. Maka, setiap hari aku menyisihkan uang hasil menjual kayu bakar untuk kutabung.
Lalu setelah terkumpul, aku membelikannya sebuah karpet dan kuhadiahkan ke masjid. Aku takut, jika meninggal nanti tak ada yang mendoakanku lagi, tak ada yang mengirimi doa dan bacaan di alam kubur. Hanya satu harapanku, karpet itu bisa menjadi ladang amal buatku, amal jariah bagiku, setiap kali ada orang yang shalat di atasnya.”
Warga terenyuh mendengarnya. Mereka menjadi simpati, bahkan ada yang menitikkan air mata. Selama ini mereka hanya memikirkan diri sendiri dan dunia. Juga, tanpa pernah berbagi dengan sesama. Tidak memikirkan bekal apa yang akan dibawa ke alam kubur.
Haji Karmo yang sengaja membawa warga ke rumah Mak Saudah, dengan niat untuk mencemooh dan menghina Mak Saudah, diam-diam meninggalkan tempat itu. Ada sesuatu dalam hatinya yang ia rasakan, ia seperti tersendir. Tiba-tiba mukanya memerah, Ia pulang dengan wajah malu.
 Barabai, 25 Oktober 2011



READ MORE - KARPET
Senin, 30 Januari 2012

postheadericon Ibu, Aku ingin membuatmu Tersenyum

Dear My Blog,,,,,,,
Bagiku Mimi (sebutan Ibu) adalah seorang Wanita yang kuat segalanya,
Fisiknya, Hatinya.......
Apa aku bisa sekuat itu,
Setelah kejadian itu, tekadku makin kuat, aku tak ingin membuat ia menangis,
aku hanya ingin, melihatnya tersenyum. ^_^
Aku berjanji, Dan moga aku tak ingkar janji,,,,,,
Surga Dibawah telapak kaki Ibu,
Baktiku pada Ibuku, bukan sebatas untuk surga,
Semoga mendapat keridhoan Allah...

Kebahagian seseorang, tak selalu karna harta,
Kaya hartapun, harus dibarengi dengan kaya hati,
Aku tau, ibuku akan sangat bahagia,
Ketika Anak anaknya juga bahagia,

Jika ada usia untuk menjadi seorang Istri, dan menjadi seorang Ibu,
Pintaku padaNya, hanya semoga aku bisa menjadi seorang Istri dan Ibu yang baik.
Semoga, Aku dan keluargaku bisa berkumpul kembali di alam Lain, bukan hanya di dunia,
Semoga, aku menjadi manusia di akhirat nanti, 
READ MORE - Ibu, Aku ingin membuatmu Tersenyum

Total Tayangan Halaman

Mari Silaturahmi

Follower

My Blog List

Popular Posts

Share