Minggu, 31 Juli 2011

postheadericon Marhaban Ya Ramadhan

Alhamdulillah,,,
aku masih dikasih kesempatan untuk dapat bertemu lagi dengan Bulan suci ini
smoga di bulan ini bisa membuatku menjadi insan yang lebih baik,,,
READ MORE - Marhaban Ya Ramadhan
Sabtu, 30 Juli 2011

postheadericon Jalan Sebelum Ramadhan

Niatnya sih pengen beli baju ya ke tanah abang
Tapi, ternyata padetnya udah kaya orang mau mudik,

Jadi, lamanya itu ya dijalan ini, jalan kaki,,,,macet banget,,,
parah,,,,
Bener bener shopaholik smua,,,,dan lebih banyak ibu ibu,,
kasian tuh yang bawa anak kecil, dibawa desek desekan,,,,,
Rame banget,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Padahal cuma belanja aja,,,rame banget ya,,,,hahaha
READ MORE - Jalan Sebelum Ramadhan
Selasa, 26 Juli 2011

postheadericon Tembang kampung halaman

Episode 1
Tembang Kampung Halaman


Di Stasiun Kereta Api
Matahari merangkak ke sore hari di kota kecil itu. Sinarnya terang-benderang menyelimuti permukaan kota. Mulut langit mengembuskan angin dari sebuah kereta ekonomi yang memasuki stasiun. Dari roda-roda lokomotif tampak asap bergulung-gulung dan bunyi rem berderit, menandakan betapa tuanya umur lokomotif ini. Debu pun beterbangan ke seluruh penjuru, tapi itu tidak mengganggu orang-orang yang berkumpul di stasiun. Buat mereka, kedatangan kereta adalah rezeki; sesuatu yang harus disambut dengan penuh sukacita.
Pedagang asongan yang mengais rezeki dari setiap gerbong dan harus turun-naik di stasiun, yang sudah berjaga-jaga sejak peluit kereta dibunyikan, mulai menggeliat-geliat bagai ular terjaga dari tidurnya. Ada gula ada semut. Sebagian pedagang asongan yang datang dari stasiun sebelumnya dengan tubuh berkeringat turun dari gerbong dan diganti dengan yang baru. Orang-orang kecil itu tak pernah rakus dalam memburu rezeki. Mereka saling berbagi; memberi kesempatan yang sama untuk sesuap nasi. Begitu terus silih berganti di setiap stasiun. Mereka meneriakkan jenis dagangan dan mimpi serta harapan-harapan yang sama. Hidup bagi mereka memang nyata. Apa yang mereka dapatkan hari ini, keuntungan dari dagangannya, itulah hidup.
Beberapa penumpang berlompatan turun. Walaupun tubuh kotor dan bau segala rupa, tapi mereka tampak gembira karena sudah sampai di tempat tujuan, kampung halaman tercinta. Tempat mereka lahir, menangis, besar, gembira, dan bermimpi. Mereka saling melemparkan tawa dan senyum. Lalu beberapa penumpang baru naik, tapi tidak untuk pergi ke kota yang jauh. Mereka cuma menumpang ke beberapa stasiun kecil saja sambil bersahabat dengan kondektur kereta plus salam tempel ala kadarnya.
Seorang pemuda memisahkan diri. Dia berusaha untuk tidak menarik perhatian atau beramah-tamah dengan orang-orang. Paling-paling dia tersenyum, atau hanya mengangguk pada yang menyapanya. Itu sekadar tradisi penduduk pada kaum pendatang yang dianggap sebagai tamu.
Dia menyeret ransel hijaunya seperti sedang berusaha menyeret kembali sepenggal hidupnya yang tertinggal di sini. Dia melihat ke sekeliling stasiun seperti melihat sesuatu yang sudah teramat lama diidam-idamkan. Tak ada yang berubah dengan tempat ini, bisiknya gembira. Bangku-bangku dari kayu jati, yang kini sudah kehitam-hitaman, masih tetap jadi bagian stasiun. Aku sering tidur di bangku itu jika hari sedang panas, dia tertawa mengingatnya. Tiang-tiang penyangganya masih kokoh. Tapi kios kecil di ujung barat stasiun itu kini jadi sebuah toko kecil. Dagangannya bertambah banyak. Koran dan majalahnya pun berjejer dan bergantungan.
Dia berjalan ke toko kecil itu. Berusaha melihat penjaganya dengan hati-hati. Tampaknya, dia tidak ingin kehadirannya diketahui. Seorang lelaki bertopi sedang melayani pembeli. Dia tidak mengenalnya. Dia membeli tisu penyegar badan.
"Ke mana Pak Kumis, Mas?" tanyanya, merasa harus tahu nasib orang tua pemilik kios kecil ini dulu, yang tidak pernah berhasil memergokinya jika mencuri roti. Pak Kumis yang selalu mengusirnya tiap kali ia mondar-mandir di depan kiosnya, daripada nanti ada roti atau kuenya yang hilang.
"Pak Kumis sudah mati," si penjual enteng saja bicara.
"Kapan, Mas?" Pemuda ini tersentak.
Sambil membereskan tumpukan rokok, si penjual meneliti pemuda di depannya. "Lima tahun yang lalu, " .katanya.
Tadinya dia berharap bisa bernostalgia dengan Pak Kumis, sambil meminta maaf atas kelakuannya sepuluh tahun yang lewat. Beliau pasti akan pangling melihatku, pikirnya. Tapi keinginannya cuma tertinggal di hatinya. Selamat jalan, Pak Kumis, batinnya penuh sesal.
"Meninggal karena apa Pak Kumis, Mas? Sakit tua?"
"Mati karena duit!" Pemilik baru kios itu tertawa.
Pemuda ini mengerutkan keningnya. "Jangan main-main dengan orang yang sudah meninggal, Mas," katanya mengingatkan.
Tawa si pemilik baru terhenti. "Dia memang mati karena duit. Kiosnya ludes buat main judi." Mimiknya berubah serius. "Kenapa kamu tanyakan itu? Kamu siapa?" pengganti Pak Kumis ini menyelidik.
"Oh, nggak apa-apa," jawab pemuda ini agak gugup. "Saya cuma pembeli setianya." Dia tersenyum kikuk dan balik meninggalkan toko kecil itu.
Dia membawa kenangannya tentang Pak Kumis, yang kue-kue dagangannya sering dicurinya untuk mengganjal lapar dengan perasaan berduka. Pak Kumis mati karena duit. Karena judi. Kalimat itu membekas di pikirannya. Sepengetahuannya, Pak Kumis tidak pernah berjudi.
Dia mengitari stasiun lagi. Pengemis buta itu masih menadahkan tangannya ke setiap gerbong dengan doa-doa. Wajahnya semakin berkeriput dan jalannya mulai tertatih-tatih dimakan waktu. Malah ada dua pengemis baru, dengan kondisi tubuh yang sebetulnya masih sehat. Mungkin cuma manusia pemalas. Juga anak kecil tanpa pendidikan, yang semakin banyak berkeliaran tanpa arah hidup yang jelas, membawa kotak semir yang cuma jadi hiasan kalung raksasa saja daripada berfungsi sebagai penjaring rezeki. Tak berbeda dengan aku dulu, hatinya mengenang.
Menurut penilaiannya, stasiun ini tidak berubah. Kehidupan yang sederhana sejak dulu tidak tampak lebih maju, walaupun roda ekonomi menggelinding cepat dengan pabrik-pabrik yang melahap tanah produktif di timur-barat kota dan menyerap banyak tenaga kerja. Kota kecil yang cuma disinggahi kereta ekonomi. Kota yang berpanorama indah dan pernah jaya dengan pabrik gulanya dalam buku sejarah. Kota yang lebih banyak ditinggalkan pemudanya ke kota lain untuk mencari penghidupan yang lebih layak.
Cuma wama tembok stasiun ini saja yang agak bersinar menyegarkan sepasang matanya yang cerdik. Mungkin baru dicat. Dia ingat, setiap peringatan Hari Kemerdekaan, tembok dan pagar stasiun ini dipercantik lagi dengan warna cat baru. Bahkan dihiasi dengan umbul-umbul dan hiasan kertas warna merah dan putih, lambang kebanggaan tanah air bumi kita.
Padahal keadaan kota kecil ini dua tahun terakhir berubah drastis, begitu yang sering dibacanya di koran-koran. Tadi saja di gerbong kereta api, sebelum memasuki kota, dia bisa melihat di tanah-tanah subur di luar kota, pabrik-pabrik yang menggantikan batang-batang padi dan tebu yang dulu pada musim panen seperti sebuah lukisan surgawi dan menyebarkan aroma wewangian. Juga nasib generasi mudanya, yang praktis saja memilih jadi buruh di pabrik selepas sekolah rendah dan lanjutan, karena sebagian orangtua mereka pun berpikiran sama, lebih enak menjual tanah garapannya daripada berkubang lumpur, berpeluh keringat menanaminya dengan padi atau tebu!

Episode 2
Tembang Kampung Halaman

Yang lebih tragis lagi dia baca tentang kota ini, adalah munculnya orang kaya baru. Pergeseran nilai dari pola pikir agraris ke industri. Pola pikir tradisional kaum mudanya ke kejutan budaya baru. Kini gaya bidup kota-kota besar, yang notabene diimpor dari Barat, dilahap habis oleb mereka. 3F Revolutions-film, food, dan fashion bagai musim penghujan terjadi di sini.
Mereka merengek-rengek minta dibelikan ini-itu pada orangtuanya, selama persediaan uang dari hasil penjualan tanah itu masih ada. Dan mereka tidak segan-segan melancong ke kota-kota besar cuma untuk terperangkap kenikmatan sesaat. Dan para orangtuanya itu pun tak jauh berbeda. Mereka berpiknik ke kota-kota atau pulau wisata. Bahkan ada bapak-bapak yang kawin lagi dengan gadis muda belia, yang dicomot dari kampung-kampung, sehingga banyak keluarga yang tadinya bagai permukaan kolam perawan, kini penuh riak gelombang. Lantas warung-warung pojok pun menjamur di kiri-kanan jalan di luar kota, di sepanjang jalan ke arah pabrik, menawarkan alkohol dan wanita bergincu tebal.
Kemudian ketika bencana itu datang, saat persediaan uang menyusut dan habis, mulailah mereka kebingungan dan panik. Untuk kembali menggarap tanah, jelas tidak mungkin. Untuk membuka usaha, sejak mereka dilahirkan, bahkan sejak zaman nenek moyang, mereka tak pernah diajarkan bagaimana caranya berdagang. Sehingga jalan pintas yang terbaik adalah menjual apa saja yang tersisa untuk menyuap yang punya kuasa agar anak-anak mereka bisa bekerja di pabrik-pabrik, walaupun dengan gaji di bawah kebutuhan fisik minimum.
Itulah yang dibacanya tentang kota ini di koran-koran, dua tahun terakhir.
Dia duduk di bangku panjang kayu jati itu. Berusaha merasakan getaran-getarannya yang telah lalu. Ada keinginan untuk menyusuri jejak-jejak masa kecilnya di sini. Dia yakin dengan penampilannya kali ini, sebagai anak muda produk kota besar, tidak akan ada yang mengenalinya. Siapa akan menyangka kalau sebenamya dia adalah bocah hitam nakal yang pernah malang melintang di kota ini?
Sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu dia berumur sepuluh tahun. Dia adalah anak rembulan dan matahari, yang lahir ke dunia tanpa dikehendaki. Kabur dari sebuah panti asuhan dan cuma berkeliaran tanpa arah yang jelas. Tanpa memiliki apa-apa dan siapa-siapa. Dia tidak pernah tahu sejak kapan hidupnya mulai di kota ini. Yang bisa diingatnya, pada mulanya dengan isak tangis kesedihan dan rasa lapar, dia cuma terbawa dari satu kereta ke kereta lainnya. Dari satu kota ke kota lainnya. Lalu terdampar dan memilih tinggal lebih lama di kota ini, karena merasa sudah aman bisa mendapatkan apa-apa untuk sekadar hidup.

Kota kecil ini, yang kemudian disebutkannya pada orang-orang sebagai kampung halaman, tempatnya berasal dan datang, sangat berarti bagi kelangsungan hidupnya. Tempat tinggalnya sering berpindah-pindah. Kala malam menurunkan jubahnya, dia bisa berada di lorong-lorong pasar Inpres, terminal bis, di stasiun kereta api, atau di perkampungan kumuh di seberang sungai bersama Mbok Kasiyem-janda tua tak beranak.
Dia menyambung hidup dari apa yang diperolehnya hari itu. Kalau tidak mencuri roti dan kue di warung-warung, dia mendapat sekadar uang lelah setelah mencuci mobil, atau uang semir sepatu yang tidak seberapa. Tapi dia lebih banyak bertahan hidup dari mencuri ketimbang dua rezeki yang terakhir, karena penduduk kota ini tidak banyak yang menggunakan sepatu bagus, dan mobil-mobil jarang berhenti untuk istirahat di sini. Tapi baginya, itu lebih bagus ketimbang jadi pengemis, manusia yang malas.
Semuanya berujung ketika anak Pak Haji dari daerah perumahan, yang berseberangan dengan perkampungan kumuh di seberang sungai, Agus, mengajaknya bersahabat. Tiba-tiba dia merasa sebuah tangan membalikkan seluruh hidupnya ke sisi yang lain, sisi yang lebih terang.
Siang itu hari sedang panas. Dia baru saja mandi di sungai, ketika dua kawan kecilnya tergopoh-gopoh mendatanginya.
"Anak -anak pada ribut, Pul!" Ramli gusar sekali.
"Sama anak perumahan lagi?" Ipul kontan bangkit.
"Ya!" timpat Sunar.
"Masalahnya apa?" Ipul minta penjelasan dengan kesal.
Ramli dan Sunar saling berebut menceritakan, bahwa perkelahian berawal dari anak-anak perumahan yang menggodai Maisaroh, anak terminal yang cantik. Jangankan anak perumahan, di antara mereka sendiri, anak sungai, Maisaroh sering jadi biang perkelahian. Sebabnya, semua orang ingin menjadi kawan dekat atau membantu apa saja, demi Maisaroh.
Ipul langsung lari dengan perasaan kacau. Walaupun kali ini berawal dari Maisaroh, gadis terminal yang selalu jadi pusat perhatiannya, sebetulnya dia sudah merasa muak dengan perkelahian ini. Kapan perselisihan yang cuma berpangkal pada kecemburuan sosial, masalah klasik tentang si kaya dan si miskin, ini akan selesai?
Konon menurut cerita dari mulut ke mulut, perumahan di pinggir kota itu, beberapa belas tahun yang lalu adalah perkampungan kumuh. Setelah ada penggusuran tanah, berubah bentuklah kawasan kumuh itu jadi perumahan. Lantas penduduk liar yang mendiami kawasan itu mengungsi ke seberang sungai dan membuat pemukiman kumuh lagi. Sebuah pemukiman dari kardus, papan, seng atau apa saja, yang diperuntukkan buat orang yang tak punya apa-apa dan siapa-siapa.
Jika sudah bosan berkeliaran di stasiun, pasar Inpres, dan terminal, biasanya Ipul tinggal di perkampungan kumuh di seberang sungai ini. Mandi di sungai yang airnya masih jernih atau membantu menjualkan kaleng-kaleng bekas yang dikumpulkan Mbok Kasiyem yang sudah tua. Mbok Kasiyem yang jadi "nenek"nya. Yang selalu merawatnya jika sedang rindu pada orangtuanya yang entah ada di mana.
Anak perumahan dan anak sungai, tumbuh beriringan. Dari tahun ke tahun selalu timbul perselisihan, sebagaimana layaknya anak-anak yang nakal dan lucu. Tapi semakin dewasa malah semakin berkembang luas. Anak sungai teryata selalu lebih berkuasa ketimbang anak perumahan. Mereka merajai sektor informal. Daerah sibuk dan produktif adalah wilayah mereka. Stasiun, terminal, pertokoan, bioskop, atau tempat keramaian lainnya. Mereka jadi tukang parkir, calo bis dan bioskop, tukang catut, atau preman.
Ipul melihat di jembatan kecil, yang menghubungkan dua dunia berbeda di antara mereka, anak pernmahan dan anak sungai yang terlibat baku hantam. Tapi dengan perasaan heran campur girang, dia melihat di ujung sana ada yang berteriak-teriak, sedang berusaha menghentikan kekacauan. Lalu tanpa pikir panjang lagi dia pun tergerak untuk melakukan hal yang sama. Dan dia tidak menduga kalau perkelahian memalukan itu berhenti.
Ipul mendekati anak perumahan itu. Mereka berhadap-hadapan. Orang-orang di kedua belah pihak berjaga-jaga, menunggu aba-aba selanjutnya dari pemimpin mereka. Pemimpin anak perumahan tersenyum kikuk dan Ipul tergetar dibuatnya.
"Kenapa berkelahi terus, sih?" kata Agus, pimpinan anak perumahan memulai.
"Saya nggak tahu!" Ipul menyambutnya.
"Saya bosan melihatnya. Kamu, apa nggak bosan?"
"Saya juga bosan."
"Bagaimana kalau kita damai?"

Episode 3
Tembang Kampung Halaman

 mengiyakan dengan gembira, walaupun beberapa kawannya tidak setuju. Tapi setelah gencatan senjata hari itu, Agus datang kepadanya. Dia bilang, bapaknya membutuhkan beberapa tenaga untuk jadi loper koran. Setelah didorong-dorong oleh Mbok Kasiyem, Ipul tidak menyia-nyiakan tawaran bagus itu.
"Saya ingin kita ini hidup berdampingan," kata Agus berharap. "Kata bapak saya, kita harus menghapus sebutan ‘anak perumahan’ dan ‘anak sungai’. Saya suka sedih mendengar sebutan itu.
"Bapak bilang, di hadapan Tuhan kita ini sama. Tak ada anak-anak dengan sebutan itu," kata Agus lagi, yang ayahnya memang seorang haji budiman, pemilik sebuah toko jamu dan agen koran.
Ipul jadi ingat orang tua bijaksana yang menawarinya untuk jadi loper koran itu. Lalu kedua anaknya, Agus dan Imas, yang selalu mengajarinya membaca sehingga dia jadi keranjingan membaca koran. Dan sesudah mengenal Pak Haji budiman itu, dia merasa dunia ini sangat luas. Sangat indah untuk diarungi. Betapa menantang untuk digali sisi-sisi kehidupannya.
"Saya ingin sekolah, Pak Haji," kata Ipul menggebu-gebu wakti itu. "Di kota besar."
"Betul itu, Ipul?"
"Tapi, kenapa tidak di sini saja?" tanya Agus dan Imas. Pertanyaan ini pun terlontar dari semua kawannya. Kepada mereka, Ipul mengatakan ingin merantau. Ingin menikmati petualangan yang lebih seru lagi. Tapi yang membuatnya sedih, Mbok Kasiyem memeluknya erat sekali.
"Pergilah, Ipul. Nasibmu ada di sana, Nak." Inilah kalimat terakhir dari Mbok Kasiyem. Dua tahun setelah itu, Agus mengabarkan tentang kematiannya.

Tapi alasan yang dikemukakan pada Pak Haji lain lahi. "Saya ingin jadi wartawan, Pak Haji," Ipul melontarkan mimpinya. "Kayaknya enak ya jadi wartawan itu, Pak Haji. Bisa bepergian ke mana-mana," tambahnya sambil menatap koran-koran yang dipeluk.
Lalu Pak Haji pun memberikan alamat seseorang di kota besar, yang nanti bisa di mintai pertolongannya. Dan dalam umur sepuluh tahun hampir sebelas, Ipul meninggalkan Maisaroh, kawan-kawannya dari perkampungan di seberang sungai, dan kedua kerabat barunya-Agus dan Imas-untuk melakukan petualangan hebat. Pergi sendirian dengan kereta api ke kota besar untuk mengubah nasib dan perjalanan hidupnya; mewujudkan mimpi kanak-kanaknya untuk menjadi seorang wartawan.
Dalam beberapa hari dia menggelandang dulu di kota besar sebelum menemukan alamat yang dicari. Tidur di mana saja, bersahabat dengan siapa saja, dan bertanya pada siapa saja tentang alamat yang diberikan Pak Haji Arsyad. Dan pada hari ke tujuh, dia sampai di tujuan, yang ternyata juga seorang pak haji dan agen koran!
Dengan secarik surat dan Pak Haji Arsyad, Ipul pun diterima sebagai bagian dari keluarga Pak Haji Burhan. Menggelindinglah dia bersama hari-hari yang keras dan penuh disiplin di kota besar. Sejak selepas salat subuh, dia terlibat bersama loper koran lainnya, mengantar koran-koran ke para langganan dengan sepeda, lalu ke sekolah, terus mengantarkan koran sore, dan sisa malamnya diisi dengan mempelajari agama. Begitu dia menghabiskan hari. Bangku SD, SMP, dan SMA dilaluinya dengan mulus.
Ternyata mimpi masa kanak-kanaknya bukan sekedar mimpi di siang bolong. Menjadi loper kroan itu lambat laun membuat dirinya cerdik dan pandai. Wawasannya bertambah luas. Dia jadi lebih berani dalam bertindak. Nasib majalah dinding disekolahnya selalu berkibar ditangannya. Bahkan tak kapok-kapoknya dia mengirimkan tulisannya ke media cetak, sampai tulisannya berhasil di muat. Begitulah dia menjalani hidupnya sebagai pelajar, diselingi dengan menjadi loper koran, dan penulis lepas di beberapa najalah remaja. Dan dia jadi kebanggan induk semangnya, Pak Haji Burhan, serta kawan-kawannya sesama loper koran.
Setelah Ipul lulus SMA, jerih payahnya membuahkan hasil lain. Dia diterima di jurusan jurnalistik sebuah perguruan tinggi negeri di kota besar yang lain. Mengembaralah lagi dia ke sana; mengarungi lautan yang baru. Untuk pengembaraannya kali itu, dia tidak begitu kuatir karena sudah bisa menyiasati bagaimana cara termudah untuk mendapatkan uang. Jurnalistik adalah sebuah jawaban yang cemerlang. Ya, dengan menulislah dia bisa membiayai hidupnya; membayar kamar kos sederhana, biaya kuliah, dan keperluan sehari-hari. Kini dia di tahun kedua jurnalistik di sebuah perguruan tinggi negeri! Impian kanak-kanaknya hampir sepenuhnya berada dalam genggaman tangannya! Sebentar lagi dia yakin akan menggenggamnya.
Selama Ipul menjalani pengembaraan di samudera hidup yang penuh gelombang, tak pernah doa meluangkan waktu untuk pulang ke kampung halamannya. Dia sudah terbawa arus hidup kota besar yang bergelombang dahsyat. Berkelahi di dalamnya. Bercucuran keringat dipanggang mataharinya. Dan dia menikmatinya. Tapi dalam setiap suratnya pada Agus, Imas, dan Pak Haji Arsyad, yang sudah dianggapnya sebagai keluarga, dia selalu menulis "Ipul akan pulang setelah punya gelar dan jadi wartawan sungguhan." Dan ketika telegram dari kampung halaman itu datang tiga hari yang lalu, rencana kepulangannya jadi berantakan…..

Ipul cuma bisa berdiri mematung di jendela kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Telegram itu dibacanya sekali lagi. Masih saja dia tidak percaya akan berita duka itu. Dia melihat ke luar jendela, memandangi gedung-gedung bertingkat yang semakin menghalangi sinar matahari. Wajah pak haji budiman itu terbayang jelas dengan senyumnya yang tulus ikhlas. Akhirnya aku harus pulang ke kampung halaman sekarang, sebelum janjiku terlaksana, suara batinnya melagu pilu.
Suasana stasiun kembali hening. Kereta api sudah pergi. Kereta ekonomi berikutnya datang nanti tengah malam. Kereta mewah cuma berkekebat menyilaukan mata dan meninggalkan gemuruh mesinnya di stasiun kecil ini. Orang-orang kembali duduk berangin-angin. Ada yang tidur-tiduran di bangku, main domino, atau tertawa-tawa membicarakan sesuatu.
"Mau kemana, Mas?" Seorang anak mendakatinya, dekil, au dan kausnya sudabh robek di sana-sini.
"Mau nengok saudara." Ipul tersenyum ramah. Dia jadi ingat masa lalunya lewat anak dekil ini. Anak sungai, hatinya mengeja sebutan bagi anak dekil ini. Sebutan yang juga pernah di sandangnya dulu, tapi, di mana mereka sekarang tinggal setelah perkampungan kumuh di seberang sungai itu digusur untuk dijadikan pabrik?
Anak itu ngeloyor tidak peduli, mendekati toko kecil di ujung barat stasiun. Mondar-mandir seperti menunggu kesempatan bagus. Ipul memperhatikannya. Dia merasa dadanya berdebar-debar menunggu saat itu tiba. Darahnya terasa panas. Dia seperti melihat dirinya sepuluh tahun yang lalu pada anak dekul itu. Dia menghela napas lega begitu melihat anak dekil itu menyambar dengan secepat kilat sebungkus roti tanpa di ketahui pemiliknya. Seandainya orang-orang di stasiun ini ada yang memergoki bocah kecil itu mencuri roti tadi, mereka akan memilih tersenyum dan mengelus dada daripada berteriak "maling" dan menghakimi sendiri, seperti yang biasa terjadi di kota-kota besar.

Episode 4
Tembang Kampung Halaman


Di Kios Kecil Di Sudut Pasar
Ipul bangkit. Dia berjalan ke luar stasiun kereta api. Beberapa tukang becak menyerbu memburu rezeki padanya. Mereka berebut menawarkan jasa untuk mengantar. Begitulah nasib mereka, yang di kota besar sudah tidak bisa mengadu nasib lagi. Kota besar memang sudah bersikap tidak adil dengan melarang becak beroperasi di sana. Alasannya tidak manusiawi. Padahal kejahatan berkerah putih, penggusuran tanah dengan alasan pembangunan, penganiayaan pembantu rumah tangga, dan upah buruh yang rendah lebih tidak manusiawi ketimbang mengayuh becak. Akibatnya, becak-becak menyerbu kota kecil dan bikin semrawut jalan-jalan di sana. Boleh jadi nanti, jika ingin naik becak, kita harus pergi ke sebuah tempat wisata dan membayar mahal.
Ipul menyebutkan nama sebuah penginapan murah di dekat pasar. Dia sengaja memilih tinggal di penginapan karena belum tahu di mana rumah Pak Haji Arsyad setelah penggusuran untuk perluasan industri itu. Tapi rencananya memang cuma untuk bertamu saja ke rumah Pak Haji; ikut berdukacita sambil bersilaturahmi. Rasanya tidak enak kalau harus merepotkan soal makan dan tidur segala. Itulah anehnya pola hidup di sini. Keluarga yang sudah ditinggal mati, harus pula mengadakan hajatan tahlilan, menjamu tamu-tamu dengan makanan dan minuman enak sambil mendoakan orang yang meninggal. Sudah kehilangan orang yang dicintai, mereka harus pula kehilangan uang yang tidak sedikit. Padahal orang yang meninggal itu sudah putus hubungan dengan keduniawian kecuali tiga perkara, yaitu beramal untuk kepentingan umum, mengembangkan ilmu yang bermanfaat, dan mempunyai anak yang berbakti.
Matahari bertambah ramah. Cahaya senjanya yang berwarna keemasan memantul di permukaan kota. Becak yang terseok-seok tampak seperti keong emas diselimuti cahaya. Ipul dengan leluasa menghirup aroma bumi kampung halamannya, yang sudah sekian lama tidak dirasakannya.
Apakah Imas sudah kembali ke kota besar? Ipul teringat pada putri bungsu Pak Haji, yang kini kuliah di kota besar yang berbeda. Imas merasa tersiksa menghabiskan masa remajanya di kota ini, karena bapaknya tidak mengizinkannya pergi ke kota besar dengan alasan dia seorang perempuan. Tapi setahun yang lalu, Imas mengabarkan lewat surat padanya, bahwa dia sudah kuliah ekonomi di perguruan tinggi swasta di kota besar terdekat. "Biar gampang pulang nengok Bapak," Imas menulis disuratnya. Ibunya memang sudah meninggal ketika dia berumur dua tahun.
"Saya mau kawin, Ipul!" Ini kabar dari Agus, kakak Imas. Agus, selepas SMA, memilih menikahi anak pak haji lainnya daripada meninggalkan bapaknya yang sudah tua dan adiknya. Dialah yang meneruskan usaha bapaknya, menjalankan kelangsungan toko jamu warisan dari neneknya dan usaha agen korannya.
Setelah Agus, Ipul mengenal Imas setelah jadi loper koran. Imas suka berbaik hati meminjamkan buku cerita Enid Blyton, HC Andersen, atau Bung Smas. Setelah Ipul tinggal di kota besar, suka menceritakan tentang kemegahan kota besar, suka duka jadi pengasuh majalah dinding di sekolah, dan berbagai wartawan lepas.
Setelah surat terakhir dari Imas, yang mengabarkan tentang kuliahnya di ekonomi, mereka tidak pernah lagi berkirim surat. Mereka tenggelam dengan kesibukan di kampus. Mereka seperti berusaha untuk sejenak melupakan, bahwa mereka punya hari-hari yang idah di kampung halaman. Dan buat Ipul, semuanya tergambar lagi dengan nyata ketika telegram dari kampung halaman itu datang. Telegram duka tentang Pak Haji Arsyad, ayah Imas kecil yang suka membantu mengajarinya membaca. Kalau dia mengingat tentang tak pernah pulang ke kampung halamannya, perasaan berdosa selalu muncul menyiksanya.
Hati Ipul berdebar-debar ketika becak berhenti di depan penginapan sederhana, yang termurah ongkos sewa kamar per malamnya dibandingkan dengan penginapan lainnya di kota ini. Tak ada perubahan berarti dengan gedung tua ini. Malah beberapa eternit di bagian sampingnya sudah mengelupas. Burung gereja tampak keluar-masuk dari lubang itu.
Ipul teringat pada saat suka berburu rezeki di penginapan ini. Dia suka nongkrong di tempat parkir, membersihkan mobil pengunjung yang cuma mampir sebentar dengan wanita penghibur sambil berharap dapat tip beberapa ratus perak. Malah kadang kala dia suka dimintakan jasanya oleh Mardi, resepsionis hotel, untuk menghubungi wanita pinggir jalan di terminal, stasiun, atau pasar Inpres. Itu sebabnya kenapa Ipul memilih penginapan ini ketimbang yang lainnya. Dia ingin merasakan lagi jejak-jejak hidupnya yang tertinggal di sini.
Ipul gemetar menuliskan namanya di buku ketika check-in. Resepsionisnya adalah lelaki di masa lalu, Mardi, yang suka menyuruhnya memanggil Mbak Sri, kembang terminal, Mbak Ningsih, primadona pasar Inpres, dan Mbak Yati, mawar stasiun, untuk menemani tamu-tamu yang kesepian. Lelaki yang pernah merajalela di sekitar terminal; memintai uang pada sopir dan kondektur bis. Sekarang dia agak kalem, walau sorot matanya masih liar seperti dulu.
"Ipul?" Mardi menatapnya. "Saya seperti pernah mengenal nama ini?" Ditelitinya pasfoto di kartu pengenal.
Ipul pura-pura tidak mendengar. Dia memandang ke arah lain. Tak ada yang berubah dengan ruangan tengah ini, hatinya menggeleng. Kursi tamu yang kulit luarnya kini jebol sehingga busanya berhamburan, lukisan ombak pantai Selatan di dinding sebelah barat, dan kolam hias yang airnya kotor. Sama persis dengan suasana dulu.
 menyodorkan kunci kamar. "Nomor sembilan!" Ekor matanya terus memperhatikan pemuda tinggi besar itu.
Ipul menyambar kunci dan tergesa-gesa menuju tangga ke lantai atas. Sebetulnya ingin dia memeluk Mardi dan menanyakan kabarnya. Dia pasti sudah menikah dan punya anak. Tapi, nantilah itu, senyum hatinya.
Lorong kamar masih tetap kotor. Puntung rokok dan sobekan kertas berserakan. Dibukanya pintu kamar nomor sembilan. Agak susah. Dia harus mendorong pintu itu, sehingga terbuka menimbulkan bunyi aneh. Hawa kurang sedap langsung menyambar hidungnya. Dilemparkannya ransel ke tempat tidur dan buru-buru dibukanya jendela kamar.
Ipul menghirup udara segar yang dihemburkan angin. Dia melihat kegelapan baru saja menurunkan sayap-sayapnya. Lampu-lampu di jalanan sudah menyala dan menerangi dada kota. Sisi kehidupan yang lain akan bergerak pelan kini, menghabiskan malam. Sisi yang sulit dijangkau oleh orang-orang yang sudah terbiasa dengan status dan kehormatan.
"Baru tiba?" Seorang pelayan masuk ke dalam kamar. Dia hendak membereskan seprai tempat tidur dan menyapu lantai.
Ipul hampir saja berteriak begitu melihat luka jahitan di dahi pelayan hotel ini, tapi dia langsung mengunci mulutnya. Dia ingat masa lalu, siang yang panas, ketika bersama anak sungai lainnya yang mengejar layangan putus. Di perempatan jalan pasar, sebuah mobil sedan menabrak salah satu di antara mereka. Jadi luka jahitan di dahi pelayan ini tidak akan membuatnya lupa pada kejadian di perempatan jalan itu.
"Sendirian?" pelayan itu mengajaknya bercakap-cakap, merasa tidak enak diperhatikan terus.
Ipul mengangguk dan duduk di kusen jendela.
Setelah merapikan seprai, pelayan itu mendekati Ipul. Tersenyum penuh arti. "Butuh temen? Nanti bisa saya carikan."
Ipul mengulum senyum. Kawan masa lalunya ini ternyata sudah menekuni bagian dari satu sisi kegelapan. Demi komisi beberapa ribu perak, batinnya. Hal yang dulu pernah dia lakukan juga.

"Orangnya masih muda, cantik, dan dijamin bebas dari AIDS."
"Anak mana? Kembang terminal? Primadona pasar Inpres? Atau mawar stasiun?"

Episode 5
Tembang Kampung Halaman

Pelayan itu tampak terkejut. Istilah-istilah itu cuma beredar di kalangan tertentu saja. Jika Mardi memanggil dan menyuruhnya menghubungi "kembang", berarti dia akan menuju ke terminal. Kalau "primadona", ya sudah tentu wanita cantik dari pasar Inpres. Begitu juga "mawar", dia akan mengambilnya di stasiun.

Ipul mesem-mesem saja.
"Anak terminal," katanya, berusaha menebak siapa tamu yang sok tahu ini.
"Namanya siapa?"
"Tapi, jadi nggak?"
"Lihat dulu orangnya, dong. Siapa nama kembang itu? Jangan-jangan masih si Sri, yang dioperasi plastik biar kelihatan awet muda!" Ipul tertawa menyebut kembang terminak ketika dia masih jadi kurir dulu.
"Dia sudah jadi nenek peot sekarang! Sudah saya bilang tadi, yang ini masih muda. Cantik lagi! Namanya Meisye!"
"Siap? Meisye?" Ipul mengerutkan keningnya. "Anak pindahan, ya? Wah, sudah apkiran, tuh!"
"Asli dari sini. Nama bekennya memang Meisye, tapi nama nenek moyangnya Maisaroh." Pelayan itu tertawa lucu.
"Maisaroh?" Ipul tercenung. Hatinya merasa terpukul. Dia betul-betul tidak percaya. Ini seperti mendengar gemuruh petir saja.
Sebuah wajah cantiok seorang gadis kecil berkelebat di benaknya. Gadis terminal yang suka merengek-rengek padanya minta dicurikan boneka mainan. Gadis kecil yang tidak pernah tahu siapa bapaknya, karena ibunya selalu berdiri di pinggir jalan selepas jam sembilan malam dengan parfum dan gincu murahan, menawarkan penderitaan hidupnya pada lelaki hidung belang.
Maisaroh, hatinya menyebut nama itu lagi. Gadis kecil bernasib malang. Di suatu malam yang dingin Ipul memergokinya sedang menangis di sudut pasar. Rambutnya kusut masai dan pakaiannya acak-acakan, sehingga kesannya setengah telanjang.

"Kenapa, Maisaroh?" Ipul merasa iba.
Tangis Maisaroh semakin menjadi-jadi.
"Lapar, ya?" Ipul merogoh tas kainnya yang entah berwarna apa saking kucelnya. Disodorkannya ebungkus roti, yang sorenya dicurinya di warung Pak Kumis.
Maisaroh ketakutan. Tapi sorot matanya liar; penuh marah. Dia mundur dan menjerit-jerit di tembok. Ketika Ipul berusaha meredakan tangisnya, tanpa di duga Maisaroh berontak dan mendorong tubuhnya. Dan dia berlari ketakutan. Ipul cuma memanggilnya dengan perasaan heran. Dia tidak mengerti apa sebetulnya yang sudah menimpa Maisaroh.

Tapi sekarang, jika mengingat Maisaroh yang menangis ketakutan waktu itu, Ipul bisa mengambil kesimpulan, bahwa gadis kecil yang cantik itu korban perkosaan lelaki-lelaki pasar. Kalau saja dulu dia tahu, lelaki-lelaki pasar itu pasti akan dihajarnya bersama-sama anak sungai lainnya.
Maisaroh memang cantik, dan sering dia mendengar wanita pinggir jalan menyebutnya kembang kecil yang liar, yang suatu saat nanti akan mengambil alih posisi Sri, kembang terminal waktu itu. Jadi tak heran jika dia jadi korban keganasan lelaki. Di antara mereka, hukum rimba seperti disahkan tanpa perlu ditulis di buku undang-undang. Bergulir begitu saja. Siapa perkasa, dialah yang jadi sang raja.
Baginya Maisaroh adalah "adik", tempatnya menumpahkan rasa sayangnya yang selalu muncul. Rasa sayang yang sebelumnya entah mesti diberikan pada siapa. Kadang kala dia iri bila melihat Sanur atau Ramli, yang bisa memberikan sesuatu pada adik-adiknya. Kalau Mbok Kasiyem dianggapnya "nenek", dia pun memutuskan sendiri, bahwa Maisaroh adalah "adiknya", yang harus diberi perlindungan dan kasih sayang.

"Heh, kamu asli dari sini, ya?" pelayan itu meminta jawaban.
Ipul menatapnya. "Saya mau istirahat dulu. Nanti deh kita bicara lagi," katanya, mempersilakan pelayan itu pergi.
"Tapi, jadi nggak metik kembang itu?"
"Nanti saya hubungi, deh!" Ipul menutup pintu. Dia merasakan keanehan dan kelucuan yang sangat pada dirinya. Sudah dua orang datang dari masa lalunya. Lelaki resepsionis, Mardi, dan pelayan hotel tadi, Ramli. Tapi mereka tidak mengenalinya. Ternyata waktu telah banyak mengubahnya.
Ipul merebahkan tubuhnya yang letih setelah sehari penuh dalam perjalanan. Matanya terpejam. Untuk mencapai kota ini harus dua kali berganti kendaraan. Dari kota besar yang satu ke kota besar lainnya bisa menggunakan angkutan kereta atau bus. Setelah itu menyambunug dengan kereta ekonomi. Sebetulnya dengan bus pun bisa, tapi ternyata perjalanan lebih terasa asik dinikmati dengan kereta ekonomi, karena bisa menghirup hawa segar pegunungan dan mensyukuri lukisan agung sang Pencipta.
Detak-detak kehidupan mengikuti malam. Ikut tertawa getir bersama bintang-gemintang dan melamun bersama cahaya perak sang rembulan….
           
Terdengar pintu diketuk. Dengan malas dia menggeliat. Teriaknya kesal, "Siapa?"
"Saya!" terdengar suara pelayan.
Ipul melihat arlojinya. Dia langsung bangkit. Jam sembilan! pekiknya. Bergegsa dia membuka pintu. "Ada apa, Ram….." Ternyata dia kelepasan juga.
Ramli mendelik. "Kamu…. kamu memanggil nama saya?" Dia kebingungan. "Siapa kamu?"
Ipul tersenyum serba salah. Sekarang belum waktunya. Nantilah, Ramli, hatinya menggerutu. "Saya…. saya tadi di kasih tahu sama yang di bawah. Di resepsionis," alasannya sekenanya saja. "Ada apa, Mas?"

"Jadi, nggak?"
"Apanya yang jadi?" Ipul pura-pura bego.
"Metik kembang."

Ipul mengangguk. Dia mengiyakan setalah pelayan hotel itu menyebutkan soal harga. Melonjak dua kali lipat dari harga ketika Ipul jadi kurir dulu. Rupiah dari tahun ke tahun memang payah. Merosot terus. Pemerintah selalu menaikkan harga bahan bakar minya, listrik, atau gaji pegawai negeri, sehingga harga-harga kebutuhan pokok jadi mencekik orang kebanyakan. Sudah kodrat memang, orang kecil selalu jadi yang terinjak. Kehidupan sesungguhnya memang bergulir di antara mereka, bukan berada pada orang-orang kaya. Justru golongan kayalah yang jadi penonton. Jika seru, tentu mereka bertepuk tangan. Kalau sedih, mereka akan sesumbar merasa prihatin. Mereka seperti sedang nonton pawai kehidupan di cineplex saja.

"Jam berapa?" Pelayan hotel itu sudah membayangkan uang komisi yang bakal di dapat.
"Jam dua belas!" kata Ipul mengambil handuk, mengunci pintu kamar, dan berlari ke kamar mandi yang berada di ujung lorong.
Suara air berhamburan dari gayung ke tubuh Ipul. Dia membasuh rasa lelah seharian. Malam ini dia punya rencana, yang akan membuat kawan-kawan kecilnya terkejut.
Sekarang Ipul sudah menyusuri kehidupan malam di kotanya seperti dulu. Untuk bertamu ke rumah Pak Haji; bertemu Agus dan Imas, sudah malam. Ada hal lain yang lebih penting baginya, yaitu jejak-jejak hidupnya dari sisi yang hitam, yang begitu ingin dirasakannya lagi.
Tujuan pertamanya adalah terminal.
"Di mana saya bisa bisa ketemu Maisaroh?" tanya Ipul pad aseorang pedagang rokok di dalam terminal.
"Maisaroh?" Pedagang rokok itu menggeleng.
"Maksud saya…. Meisye."
"Oh, si Meisye." Pedagang rokok itu tertawa. "Tuh, di deket lampu merah! Cepetan, nanti keburu di ambil orang!" katanya dengan tawa lebih keras.
Ipul cuma tersenyum. Dia bergegas ke lampu merah. Beberapa wanita pinggir jalan mencegatnya. Ada yang menggelayut manja sambil tertawa dibuat-buat, atau meminta sebatang rokok.

Episode 6
Tembang Kampung Halaman
Ipul terus berlalu sambil mengumbar senyum. Tak ada seorangpun dari mereka yang berasal dari masa lalunya. Dia melihat ada tiga orang wanita berdiri di dekat lampu merah. Diaturnya napasnya. Ada sebuah motor berhenti di depan mereka. Yang di bonceng turun dari sadel dan pengemudinya masih di atas sadel motor. Mereka langsung dikerubuti oleh ketiga wanita itu.
Salah seorang dari mereka pasti Maisaroh! Hati Ipul cemas. Dia mempercepat langkahnya. "Maisaroh, sini!" dia memanggil sekenanya saja. Dia berlagak sok akrab seperti sudah kenal lama, agar kedua lelaki itu tidak bermaksud lebih jauh pada Maisaroh.
Ketiga wanita itu saling pandang. Seorang dari mereka memisah. Dengan perasaan heran dia menyongsong kedatangan lelaki aneh ini.

Dalam keremangan lampu merkuri, Ipul melihat seraut wajah yang tidak dipolesi bedak dan gincu, tapi dibiarkan alamiah. Mungkin pemiliknya sadar, bahwa dengan begitu ia justru kelihatan cantik. Tubuhnya yang tinggi semampai cuma dibalut celana blue jeans dan kaus oblong putih. Dia lebih kelihatan seperti anak sekolahan daripada wanita pinggir jalan. Dia memang sangat berbeda dengan yang lainnya. seharusnya julukan yang pantas baginya bukan lagi "kembang", melainkan "anggrek liar".
"Kamu memanggil Maisaroh?" Nada kalimatnya terjaga sekali, mengesankan dia bukan terlahir dari rahim wanita pinggir jalan.
Ipul tersenyum dan mengangguk. Ingin sekali saat itu juga dia memeluk Maisaroh.
"Nggak ada yang bernama Maisaroh di sini." Dia meneliti pemuda gagah di depannya.
"Kalau Meisye, di mana saya bisa ketemu dia?"
"Di sini. Kamu siapa?"
Ipul meneliti lagi wanita cantik ini. Berusaha mengumpulkan gambar-gambar masa lalunya. Dia merasa yakin kalau yang berdiri di depannya ini adalah Maisaroh. Dia hafal betul dengan sorot matanya yang tajam dan rambutnya yang ikal kecoklat-coklatan.
"Kamu?" Tapi Ipul merasa kurang yakin.
"Saya Meisye, orang yang kamu cari."
"Meisye?" Ipul mengulum senyum. "Tapi saya tetap mengenalnya sebagai Maisaroh," katanya sambil tertawa kecil.
Meisye tampak gelisah. "Tunggu sebentar!" Dia lalu pergi menemui kedua temannya, yang sedang sibuk merayu pengendara motor. Berbicara dengan mereka. Lalu kembali pada Ipul.
"Bagaimana?" Ipul tersenyum penuh arti.
"Saya belum pernah melihat kamu," Meisye menyelidik.
"Kita ngobrol sambil jalan, ya!"
"Saya cuma punya waktu dua jam."
"Itu lebih dari cukup. Saya cuma ingin jalan-jalan menyusuri kota saja."
"Tapi, saya belum tahu siapa kamu."
"Nanti juga akan tahu."
Meisye mulai bertanya-tanya dan merasa aneh sekaligus takut ketika tahu lelaki yang belum dikenalnya ini mengajaknya ke arah pasar Inpres. Dia sendiri mengikuti kedunguannya, kenapa menurut saja pada lelaki yang dengan berani menyebut nama Maisaroh, sebuah nama yang berarti mengingatkan pada penderitaannya yang lalu.
Mereka sudah berada di mulut gerbang pasar Inpres. Berhenti. Suara gonggongan anjing tak bertuan membuat bulu kuduk Maisaroh berdiri. Ipul tak bereaksi. Pemuda ini seperti sedang menunggu sesuatu yang akan diledakkan.
"Kenapa kamu ke sini?" Wajah Meisye langsung berubah tegang.
"Supaya kamu tahu siapa saya, Maisaroh." Ipul menatapnya dengan serius.
"Saya bukan Maisaroh. Saya Meisye!" katanya. Dia tampak panik sekali.
"Bagi saya kamu tetap Maisaroh, gadis kecil yang cantik. Yang selalu minta dicurikan boneka." Ipul berusaha memegang lengannya. "Ayolah, kita masuk ke dalam." Dia menuntunnya.
Maisaroh menatapnya seperti sedang melihat sesuatu yang aneh dan menakutkan. Dia semakin panik. "Cepat katakan, siapa sebenarnya kamu!" Dia hampir menangis.

"Percayalah, saya nggak akan menyakiti kamu, Maisaroh." Ipul membimbingnya. Mengalirkan perasaan sayangnya. "Justru saya akan menolong kamu." Dia meyakinkan gadis itu dengan mengguncang-guncangkan tubuhnya.
Maisaroh meronta-ronta. Pikirannya kalut.
"Malam ini segalanya harus berakhir, Maisaroh," kata Ipul yang berhasil menuntunnya ke dalam pasar. "Berapa tahun kamu pendam sendirian penderitaan ini, Maisaroh? Kamu harus membaginya dengan orang lain. Dengan saya!"
Maisaroh tiba-tiba berubah liar. Memandangi sekeliling pasar. Gambar-gambar menyakitkan itu seperti menyebu ingatannya. Kepalanya terasa seperti ditusuki jarum. Sakit sekali.
"Kamu aman bersama saya, Maisaroh." Ipul merangkul bahunya. Mencoba meredakan lautan emosinya.
Maisaroh terisak-isak dan tanpa sadar menurut saja dituntun Ipul ke dalam pasar. Dia beringsut dan menggenggam erat-erat tangan Ipul, yang masih belum dikenalnya. Ketika mulai melewati lorong-lorong pasar yang sempit, dia merasa ada magnet yang menariknya untuk masuk ke dalam. Dadanya terasa sesak dan ingin meledak.
Pukul sepuluh malam ketika itu. Sehabis hujan. Dia kedinginan dan merasa mengantuk sekali. Dia tidak ingin pulang ke rumahnya, karena baru saja bertengkar dengan ibunya. Dia masih ingin bermain-main dulu dengan mimpi gadis kecilnya, walaupun dia sudah merasakan perubahan besar dalam tubuhnya. Kadang kala dia suka memergoki orang-orang berasyik masyuk di bale-bale di kios pasar jika malam tiba. Bahkan ibunya pun sudah tidak segan-segan menerima tamu di rumah, sebuah ruangan dua kali dua meter dari tempelan tripleks, yang menempel di tembok pembatas terminal, dengan disaksikan olehnya.
Lalu dia terlelap berselimutkan koran bersama mimpi dan harapannya menjadi putri cantik yang pergi ke sekolah dan jadi rebutan lelaki. Sampai tiba-tiba dia merasakan beberapa tangan kekar menggerayangi tubuhnya. Dia sadar dalam keadaan terancam. Dia meronta-ronta untuk melawandan berusaha untuk menjerit. Tapi mulutnya tersumbat. Dia merasakan ketakutan yang amat sangat. Dia tidak mampu berbuat apa-apa melawan tiga orang lelaki, yang biasa nongkrong di pasar memunguti uang dari pedagang. Dia cuma ingin menangis, berteriak, dan ketakutan setelah menyadari kehilangan miliknya yang berharga.
Tak ada orang yang tahu kejadian itu, kecuali pemimpin anak sungai seusianya, yang memergokinya menangis, yang waktu itu menyangka dia lapar lalu memberinya roti. Anak yang berusaha mencurikan boneka, walaupun belum pernah berhasil.
Kini Maisaroh meledak dan menjerit-jerit dalam tangisnya, ketika berhenti di depan sebuah kios di sudut pasar. Dia terguncang-guncang di dada Ipul, yang berusaha menenangkannya. Dia merasa gambar-gambar menakutkan itu kembali menyerangnya. Menghantamnya.
Maisaroh merasa dunia berubah semakin gelap dan Ipul membaringkannya di bale-bale kios kecil di sudut pasar yang remang-remang. Dia merasa kejadian itu pun seperti berulang.



Episode 7
Tembang Kampung Halaman


Di Kamar Nomor Sembilan
Ipul tergopoh-gopoh turun dari becak sambil membopong tubuh perempuan. Dia di samgut oleh Mardi dan Ramli dengan beribu pertanyaan. Antara keheranan dan menyudutkan. Tanpa menjawab dulu Ipul langsung membawa Maisaroh ke kamarnya, kamar nomor sembilan.
"Cepat ambil air hangat!" Mardi memerintah pada Ramli. "Kamu apakan dia, heh?" bentaknya gusar pada Ipul.
"Nanti saya cerita, Mas." Ipul tenang-tenang saja membaringkan Maisaroh di tempat tidur. Dia mengambil obat gosok dan mengusapkannya di hidung dan kening Maisaroh.
Ramli datang terengah-engah dengan sebaskom air hangat dan handuk kecil. Dengan cemas, dicelupkannya handuk kecil itu, diperasnya airnya, dan mengusapkannya ke wajah Meisye pelan-pelan. Pikirnya, uang komisi itu tak akan jadi di dapatnya.
"Ayo, ceritakan kenapa sampai begini!" Mardi sudah tidak sabar. Baginya, Maisaroh adalah penantiannya. Harapan dari ujung perjalanan hidupnya.
Kadang di malam-malam sepi, Mardi selalu memimpikan Maisaroh menimang bayinya. Maisaroh jadi ibu bagi anak-anaknya. Keinginan itu, memang, bersemi pelan-pelan, walaupun dia selalu menawarkan Maisaroh pada tamu-tamu di penginapannya. Tapi dia yakin, suatu hari nanti, dia akan mengutarakan mimpi-mimpinya pada Maisaroh tentang hidup yang lebih baik; sebuah keluarga dengan rumah kecil.
Lalu Ipul menceritakan semuanya dari awal dengan perasaan tertekan. Tentang gadis kecil yang diperkosa di kios di sudut pasar Inpres. Dadanya berguncang hebat setiap mengingat kejadian yang menimpa Maisaroh itu. Tapi dia mencoba menahan letupan emosinya.
"Kenapa mesti kaubawa dia ke pasar segala?" Mardi merasa bingung.
"Karena gadis kecil itu dia, Mas." Ipul menunjuk ke tubuh yang tergolek di pembaringan.
"Apa?!" Mardi terbelalak.
Ramli mengerutkan keningnya.
"Orang-orang pasar kurang ajar! Mereka harus dikasih pelajaran!" Mardi berubah geram. Dia tidak menyangka kalau putri idamannya mempunyai kisah panjang yang suram.
Ipul mengiyakan. "Sudah sepuluh tahun mereka bebas berkeliaran, Mas, sementara Maisaroh dikejar-kejar oleh peristiwa menakutkan itu sepanjang hidupnya.
"Itulah sebabnya, kenapa saya membawanya kepasar, Mas. Saya ingin membantunya menghapuskan kenangan buruk itu dari ingatannya."
"Kita harus hajar mereka, Mas!" Ramli ikut geram.
Mereka saling tatap, mencoba merasakan getaran dahsyat yang sama.
Kemudian Mardi menatapnya dengan tajam. Meneliti seluruh yang ada pada Ipul. Tak sekejap pun dia melewatkan bagian terkecilnya. Lalu, "Siapa kamu?" katanya tajam.
Ipul tak bisa menyembunyikan lagi siapa dirinya. Dia mencoba mengumpulkan kekuatannya. Segala kenangannya. Dan, "Ya, saya Ipul, Mas." Matanya berkaca-kaca.

Mardi dali Ramli terperangah. Mereka saling pandang. Tadi mereka sudah membicarakan tamu aneh yang sok tahu ini. Mereka beruhaha keras menebak, siapa kira-kira tamu misterius ini, yang dengan tiba-tiba muncul membopong kembang terminal dalam keadaan tak sadarkan diri.

"Apa kamu bilang?" Mardi minta diulangi.
"Saya Ipul." Suaranya tertahan di tenggorokan.
Mardi menatapnya. Matanya hampir saja melompat. Dia berusaha meyakinkan dirinya, bahwa ini bukan mimpi. Ramli terlebih-lebih lagi. Dia merasa seperti orang bodoh, karena sejak bertemu tamu ini tadi, rasa aneh dan penasaran selalu menguasainya.
"Apa saya bilang, Ramli! Dia pasti Ipul! Percaya nggak!" katanya dengan perasaan campur aduk. Lalu dia menarik Ipul ke pelukannya. "Akhimya kamu pulang juga, Ipul." Suaranya masih kedengaran tidak yakin, antara kegembiraan, kebingungan, dan keharuan.
Ipul lalu memeluk Ramli, sahabatnya di segala cuaca. "Apa kabarnya anak sungai?" dia berseloroh.
Ramli meringis. "Sebutan seperti itu sudah nggak ada lagi. Anak sungai dan anak perumahan, kedua tempat itu sudah jadi pabrik, Pul." Ramli tertawa getir mengingatnya.
Ipul juga tertawa getir sambil meninju bahunya.
Lalu mereka terlempar ke peristiwa yang terlewat. Ipul bercerita dari awal tentang pengembaraan hidupnya di kota besar pada mereka. Tak ada yang terlewat dan membuat mereka berdecak-decak tak henti. Dan dari Ramli-lah Ipul jadi tahu tentang Pak Kumis. Temyata untuk mengatasi kerugian dagangannya, Pak Kumis selalu menggantungkan mimpi dan harapannya lewat judi buntut. Tadinya berharap untung, malah jadi buntung. Bangkrutlah dia. Berutanglah dia ke lintah darat. Dan habislah segala mimpi dan harapannya di liang kubur.
"Saya jadi ikut ngerasa bersalah," Ipul mengenang. "Mungkin karena rotinya sering kita curi, ya, dagangan Pak Kumis jadi merugi terus," dia menyesali perbuatannya.
"Kamu yang sering nyuri rotinya, Pul!" Ramli tertawa lucu.
Mardi juga terbahak-bahak mendengarnya. Hatinya tiba-tiba merasa bahagia sekali, karena dia seperti sedang berhadapan dengan bocah-bocah hitam dekil dari masa silam.
Dari mereka juga Ipul paham tentang pulangnya Maisaroh ke kota ini delapan tahun kemudian, yang di mata mereka seperti bukan Maisaroh yang mereka kenal. Maisaroh yang kemudian cuma mau dipanggil dengan Meisye. Maisaroh yang dalam sekejap akhirnya jadi kembang terminal. Julukan yang bagaimanapun sangat mereka sesali, karena disematkan pada seseorang dari bagian masa lalu mereka.
Ipul sekejap bisa melihat lukisan keprihatinan dari wajah Mardi, bujangan tua yang tampaknya menaruh perhatian lebih pada Maisaroh.
"Mas mencintai dia?" bisik Ipul hati-hati.
Mardi cuma melirik tajam.
Ipul tidak meneruskan pertanyaannya.
Wanita cantik yang terbaring lemah itu menggeliat ketika mendengar suara-suara. Dia melihat ada tiga orang sedang asyik larut dalam cerita masa lalu. Dia merasakan bahwa mereka begitu akrab dan seperti kenalan lama. Dua orang di antara mereka, bagi dia sudah tak begitu asing. Resepsionis dan pelayan hotel, yang selalu memberinya kesempatan untuk memperoleh rezeki. Tapi yang seorang lagi, yang tadi membawanya ke pasar Inpres, belum bisa diingatnya.
Mardi membantu gadis itu bangkit. Dia meletakkan bantal agar Maisaroh bisa duduk sambil bersandar ke tembok. Dia mengambil segelas the panas. Menyerahkannya pada Maisaroh. Dia membantu memegangi terus lengan Maisaroh. Berusaha mengalirkan kehangatan darahnya pada tubuhnya.

"Gimana, masih pusing?" Mardi menyarankan pula untuk tidak banyak bergerak dulu.
"Oh, maafkan saya sudah merepotkan Mas." Maisaroh merasa tidak enak.
Mardi cuma tersenyum.
"Saya yang seharusnya minta maaf, Maisaroh, karena sudah membuat kamu jadi menderita." Ipul mengusap kening gadis itu dengan handuk kecil yang sudah direndam air hangat.

Episode 8
Tembang Kampung Halaman


Maisaroh merasa malu diperlakukan begitu. Oleh lelaki yang tidak dikenalnya pula. Tapi dia merasakan getaran pada tatapan mata lelaki itu, tatapan yang seperti sudah sangat dikenalnya dulu. Kini, tatapan itu datang lagi mendinginkan jiwanya.
"Terima kasih sudah membawa saya kemari," suara Maisaroh terdengar tulus.
Ipul merasa tergetar hatinya.
Mardi memijiti pergelangan kakinya. "Kenapa kamu nggak cerita sama Mas, Meisye? Siapa tahu Mas bisa ngebantu meringankan penderitaan kamu," katanya lembut penuh kebapakan.
Maisaroh terharu mendengarnya. Dia lantas berbicara pada Ramli, "Kamu harus membatalkan pesanan tadi, Ramli." Ramli melirik pada Ipul.
"Kamu sedang berada di kamarnya sekarang." Ipul tertawa kecil.
Maisaroh meminta penjelasan pada Ramli.
Ramli mengiyakan sambil mengulum senyum.
"Kamu ikut-ikutan sinting, Ramli! Seperti dia! Ada apa sebenernya ini?" Maisaroh menatapnya marah.
Ramli jadi tertawa.
"Ramli!" Maisaroh gusar.
"Ramli nggak bohong, Meisye," Mardi meyakinkannya.
"Kamu belum bisa mengenal saya, Maisaroh?" Ipul tersenyum gemas.
"Jangan sebut nama itu lagi!" Maisaroh menjerit menutup kedua telinganya.
"Oh, sorry, Meisye." Ipul terus tertawa.
Ramli juga semakin keras tawanya.
"Kalian memang gila!" Maisaroh betul-betul kesal. "Heh, siapa kamu, lelaki sombong?!" hardiknya.
Ipul mengerem tawanya. Dia menatap dan memegang lengannya. "Pandanglah saya, Maisaroh," katanya serius. "Ingatlah kejadian di malam yang menyakitkan di pasar Inpres itu, Maisaroh. Ingatlah pada bocah lelaki kecil yang waktu itu mengira kamu lapar.
"Ayo, ingatlah semuanya, Maisaroh."
Suara detak jam melagu pilu, merayapi malam.
"Oh!" Maisaroh terpekik. "Kamu..." Jiwanya merasa terguncang. Dia tidak yakin dengan apa yang didengarnya tadi.
"Saya berada di sana saat kamu menangis, Maisaroh. Saat kamu lari ketakutan. Saat..."
"Nggak mungkin!" Kepalanya serasa kosong dan membesar.
"Ya, Maisaroh! Sayalah bocah kecil itu! Saya, Ipul!"
Maisaroh tertawa getir dan tidak percaya, "Ipul?" Maisaroh memegangi lengan Ramli. "Katanya dia Ipul, Ramli?" Suaranya tertahan. "Mas, betulkah ini semua?" Dia meminta bantuan pada Mardi.
Mardi mengangguk. "Dia memang Ipul, Meisye," jawabnya sambil tersenyum membelai rambut Maisaroh.
"Kamu Ipul?" Kini Maisaroh menatapnya. Dia seperti melihat hantu saja. Kelopak matanya berkilauan seperti air kolam. Lalu dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menangis terisak-isak.
Ipul meraih kepala Maisaroh. Menyediakan dadanya untuk tumpahan segala penderitaan gadis cantik dari masa lalunya. Melindunginya. "Menangislah dengan puas malam ini, Maisaroh." Ipul juga merasa kedua matanya hangat.
Mardi dan Ramli cuma terpaku melihat mereka saling menumpahkan segala sesuatu yang hilang sepuluh tahun. Mereka yang pernah hadir pada masa kanak-kanak. Terutama tamu penginapan itu, yang pada mulanya sama sekali tidak dikenal, yang ternyata betul-betul pernah jadi bagian kota ini.
Setelah kejadian di malam celaka itu, Ipul memang tidak pernah melihat Maisaroh lagi. Dia bertanya pada semua orang di terminal, pasar, dan stasiun. Tapi tak seorang pun tahu. Bersama dengan anak sungai dan anak perumahan, setiap sudut kota dan kampung-kampung sekeliling dibongkarnya. Bahkan ke kota-kota kecil terdekat.
Maisaroh tetap hilang ditelan bumi. Yang membuatnya kesal, ibu Maisaroh sama sekali tidak mempedulikan nasib Maisaroh. Berkali-kali ibunya cuma bilang, bahwa Maisaroh adalah anak yang susah diatur. Anak yang tidak tahu diuntung. Anak yang membawa sial. Kesannya seperti tidak mau peduli, apakah Maisaroh masih hidup atau tidak.
Maisaroh membubung entah ke mana! Mungkin ditelan matahari atau duduk di setiap malam bulan purnama!
Sampai Ipul pergi menuntut ilmu untuk mewujudkan impian masa kanak-kanaknya, Maisaroh tetap tidak pernah ketahuan rimbanya. Dan tiba-tiba semuanya menyeruak begitu saja dan hadir nyata setelah Ramli, si pelayan hotel, itu menawarkan jasa untuk mencarikan wanita penghibur. Ditawarkannya kembang terminal, yang bernama Meisye...
Sekarang dia merasa akan melewati hari-hari panjang di kampung halamannya. Setelah Mardi, yang ternyata masih belum merasa perlu menikah dan Ramli yang menikah di usia muda dan sudah menggendong bayi empat bulan, Maisaroh menyodorkan kisah hidupnya. Dan dia yakin akan berderet lagi nanti setelah Pak Haji Arsyad, Agus, Imas, Mbok Kasiyem, dan... dia tidak sanggup untuk mengumpulkan gambar-gambar kehidupannya yang lalu.
"Saya cuma ingin lari meninggalkan kota ini. Meninggalkan kenangan malam terkutuk itu," Maisaroh menerawang jauh.
Ipul, Mardi, dan Ramli mendengarkan dengan serius.
"Setelah saya terlunta-lunta tak tentu arah di kota besar, sebuah keluarga menemukan saya. Lalu mereka membawa saya ke kota lain, yang jauh dari sini.
"Saya dijadikan pembantu dan disekolahkan oleh mereka." Maisaroh berbinar-binar wajahnya.
"Kamu makan sekolahan rupanya!" Mardi berseru kagum.
"Ya, ternyata keinginan saya untuk sekolah kesampaian juga. Walaupun waktu itu saya sudah sepuluh tahun, tapi belum lancar membaca." Maisaroh tertawa kecil mengingatnya.
Mereka juga ikut tertawa.
"Keluarga baik hati itu mengajari saya membaca, menulis, dan berhitung. Pokoknya tidak ada hari selain belajar. Saya cuma tiga bulan di kelas satu. Terus empat bulan di kelas dua. Enam bulan di kelas tiga. Dan begitu terus melompat-lompat kelas." Sorot mata Maisaroh penuh kebanggaan."Saya ternyata bukan anak bodoh," katanya tersenyum lebar.
"Hebat, hebat, Maisaroh!" Ramli terkagum-kagum.
"Tapi..." Tiba-tiba Maisaroh tertunduk pilu.
"Kenapa, Maisaroh?" Ipul merasa cemas.
Mardi kelihatan menahan napas.
"Saya kabur dari rumah mereka." Maisaroh menarik napas dengan berat. Dadanya terasa sesak lagi seperti diimpit beban masa lalu.
"Lho?" Ramli terperangah.
"Pasti ada sesuatu yang buruk menimpa kamu!" Mardi berubah marah lagi.
Sorot mata Maisaroh tampak kosong entah ke mana.
Ipul gelisah.
"Saya... oh!" Maisaroh menutup wajahnya sebentar. Lalu dengan perasaan tertekan, "Saya nggak tahan lagi tinggal bersama mereka. Pada mulanya anak lelaki mereka cuma merayu, lalu masuk ke kamar di saat tidak ada orang di rumah; memberikan janji-janji akan bertanggung jawab kalau saya melayani nafsunya.
"Lama-lama saya terbujuk juga oleh rayuannya.

Episode 9
Tembang Kampung Halaman

"Tapi ternyata dia lelaki yang tidak bertanggung jawab.
"Lelaki pengecut!" Maisaroh menahan amarah dengan menggigit bibirnya.
"Bedebah!" Mardi merah wajahnya. Gerahamnya terkatup dan kedua lengannya terkepal.
"Keterlaluan!" sambar Ramli tidak percaya.
Ipul merasa dadanya sesak. Nasib orang-orang seperti mereka selalu saja harus berada di bawah telapak kaki orang lain. Diinjak-injak, walaupun sudah tidak berdaya. Dia muak melihat orang-orang terpandang dan terhormat di mata masyarakat, yang selalu haus akan pelayanan dan penghormatan dari orang lain, tapi tingkah laku mereka sendiri tidak pantas dihormati. Orang-orang kaya, yang takut hartanya tidak mencukupi sampai ke tujuh generasi anak-cucunya, yang melakukan apa saja untuk menumpuk hartanya. Dan orang-orang pintar, yang dengan kepandaiannya membodohi masyarakat banyak agar bisa selamat dan sentosa dalam mengarungi hidup yang serba kompetitif ini.
Kelopak mata Maisaroh tampak berkaca-kaca. "Saya hamil dan kabur ke kota lain dengan membawa beberapa perhiasan mereka. Saya jual satu-satu perhiasan curian itu. Saya hidup dari satu penginapan ke penginapan lainnya sampai saya melahirkan di sana."
"Kamu punya anak, Maisaroh?" Ipul mencekal bahunya.
"Sekarang bayinya di mana?" Mardi ingin tahu.
Maisaroh menyebutkan sebuah nama panti asuhan di sebuah kota besar. "Suatu hari nanti, saya pasti akan mengambil anak itu." Bibirnya bergetar dan matanya tampak kosong.
Ipul menghela napas. Dari hari ke hari bayi-bayi yang tidak diinginkan terlahir ke bumi. Bayi tanpa kasih dan cinta. Dia pun dulu terlantar nasibnya tanpa orangtua. Cuma kasih sayang semu saja yang dia dapatkan di panti asuhan sampai dia memutuskan untuk lari dari sana.
"Dan ketika uang persediaan hampir habis, saya lantas..." Maisaroh tersedu-sedu.
"Teruskan ceritanya, Maisaroh. Itu akan baik buat jiwa kamu," Mardi menghiburnya.
Ramli menatapnya dengan iba.
Maisaroh menangis meratapi nasibnya.
Ipul semakin erat memeluknya. Dia betul-betul tidak tahan mendengar penderitaan gadis kecilnya ini, yang dulu membuatnya rela berbuat apa saja untuk menyenangkan Maisaroh. Membikinnya mau bertingkah apa saja untuk menarik perhatian Maisaroh. Gadis kecil yang cantik, yang selalu jadi penyebab perkelahian di antara mereka, anak sungai dan anak perumahan waktu itu.
Di luar, malam terus menggelincir ke bumi. Angin menggigiti tubuh-tubuh yang bergeletakan di emperan toko, terminal, pasar, stasiun, dan taman-taman kota. Atau juga abang-abang becak yang menganggap becak sebagai rumah dan sumber rezekinya.
Tapi malam dan dingin, yang seperti ikut melengkapi penderitaan, adalah sahabat mereka.
Di kamar nomor sembilan ada empat manusia yang terus hanyut dalam kenangan. Mereka seperti sedang meraba-raba di kegelapan, berusaha untuk menemukan jalan yang pernah dilalui bersama.
Ipul tersenyum pada Maisaroh, yang masih saja menatapnya tidak percaya. Tapi tiba-tiba, tanpa diduga dari mana datangnya kekuatan itu, Maisaroh memeluk Ipul. Rasa rindu yang dipendam menumpuk pada Ipul pun seperti diledakkannya sekarang.
"Saya selalu merindukan kamu, Ipul." Maisaroh menangis lagi.
"Hey, hey!" Ipul berusaha mengelak, tapi tidak berusaha untuk melepaskan pelukan Maisaroh, "sang adik" yang pernah menghilang ditelan perut bumi.
Langit pun membasahi di penginapan termurah di kota ini. Jubah-jubah perak dari permukaan bulan meluncur ke hati mereka. Dan bintang gemintang pun menari-nari di kaca jendela.
"Saya baru merasakan kebahagiaan itu sekarang." Maisaroh memandangi mereka satu per satu. Dadanya dipenuhi kembang-kembang kebahagiaan. Wajah dan sorot matanya bagai bulan empat belas. Bersinar seperti baru terlepas dari impitan beban yang berkarat.
Ipul mengelus kepala Maisaroh.
"Saya pikir, saya nggak akan pernah melihat kamu lagi, Pul."
"Saya juga, Maisaroh."
"Saya sebetulnya merindukan seseorang yang memanggil saya Maisaroh," katanya manja.
"Masa?"
"Juga merindukan seseorang mencurikan sebuah boneka."
"Oh, ya?"
Maisaroh tersenyum malu.
Ramli menyikut Mardi ketika mendengarkan percakapan yang penuh dengan rasa kangen itu.
"Ngomong-ngomong,ibumu?"
Maisaroh mengangkat tubuhnya yang padat berisi. Duduk bersandar pada tembok. Ipul melirik kagum. Tak aku sangka dia akan tumbuh secantik ini, bisiknya heran.
"Ketika saya pulang ke sini, dua tahun yang lalu, saya cuma menemukan kuburannya saja. Ibu mati karena penyakit kotor. Dia tidak sanggup untuk pergi berobat ke dokter. Begitulah cerita yang saya dengar dari beberapa orang."
"Kami yang menguburkannya," kata Mardi.
"Saya menyesal mendengarnya." Ipul menggeleng pelan.
"Walaupun saya sangat membenci Ibu, tapi dialah yang melahirkan saya ke bumi. Saya memang belum pernah menuruti keinginannya. Apalagi jika ingat ia selalu mencaci maki pekerjaannya, yang ternyata sekarang malah jadi sandaran hidup saya." Maisaroh melontarkan napasnya yang tersumbat di kerongkongan.
"Kamu harus meninggalkan kehidupan ini secepatnya, Maisaroh," kata Ipul membelai rambutnya.
"Sebaiknya memang begitu," tambah Mardi mendukung.
"Mungkin kawin jalan yang terbaik, Meisye," Ramli meledek sambil tersenyum lucu. "Saya sebetulnya ingin sekali kerja di pabrik," Maisaroh mengutarakan harapannya. "Tapi kalau kawin, apa ada lelaki yang mau sama saya? Perempuan pinggir jalan?" Dia seperti mendakwa pada ketiga lelaki di depannya.
Ipul dan Ramli menatap Mardi, bujangan tua yang kini dadanya bergelora tidak keruan.
Mardi jadi salah tingkah. Tapi dia merasa, mungkin inilah saat yang tepat untuk mengatakannya. "Mungkin Mas bisa ngebantu nyariin kerja buat kamu di pabrik, Meisye." Mardi memegang lengannya. Mengusapnya penuh perasaan. "Asal kamu sungguh-sungguh mau ninggalin pekerjaan terkutuk ini."
Maisaroh menatap lelaki yang selalu berusaha melindunginya ini jika ada gangguan dari tamu-tamu di penginapannya.
"Dan kalau ditanya, ‘Apakah ada lelaki yang akan merninangmu', malam ini pun, disaksikan Ipul dan Ramli, Mas melamarmu, Meisye.
"Tapi, Mas merasa lebih tua dan juga bukan lelaki yang 'bersih' seperti impianmu." Mardi menelan ludahnya.
Maisaroh tiba-tiba mencengkeram erat-erat lengan lelaki ini. Dadanya berguncang hebat oleh kebahagiaan. Dia melihat ke Ipul dan Ramli, yang mengangguk dan tersenyum padanya. Rasa lelah dan putus asa yang selalu mengisi hari-harinya kini seperti berhamburan entah ke mana.
"Betulkah itu, Mas?" Maisaroh menatapnya bahagia.
Mardi mendekapnya.
Ipul merasa kelopak matanya hangat. Wajahnya bersinar bahagia, karena "adik" kesayangannya kini akan ada yang melindungi. Akan memiliki seseorang yang memberinya tempat bernaung dari panas dan hujan.
Malam menggelincir terus. Langit membasahi lagi kamar kecil itu. Dan dari kaca jendela, cahaya perak bulan empat belas menyusup masuk. Menerangi setiap hati di kamar nomor sembilan.

Episode 10
Tembang Kampung Halaman

Di Sebuah Makam
Angin pagi bertiup lembut menggoyangkan pohon-pohon kamboja. Daun-daun kering takberingsut sedikit pun. Di ujung permukaan rumput dan di daun-daun masih tersisa butiran embun. Warna putih pun masih mengambang di permukaan pagi seperti gumpalan-gumpalan kapas raksasa.
Sebuah bait puisi pagi yang hening.
Ipul berjongkok di sebuah kuburan. Dia meremas gundukan tanah merah yang masih basah. Mencoba meresapkan segala kerinduannya lewat ujung jari-jarinya. Mencoba mengalirkan rasa penyesalannya.
Ini makam lelaki tua yang budiman, Pak Haji Arsyad. Bocah-bocah tanpa pendidikan dan masa depan, juga anak-anak loper koran yang hidupnya berkutat dengan panas dan bujan memanggilnya: Pak Haji. Mereka merasa kehilangan lelaki budiman ini, karena lewat dia mereka bisa menjalani hidup.
Orang-orang tua di kota ini yang mengenal Pak Haji bercerita, dulu ada seorang pedagang jamu yang cantik datang ke kota ini. Membuka toko jamu di daerah perumahan yang menggusur perkampungan kumuh. Dengan resep kecantikan, keramahan, dan senyumnya yang menawan, wanita itu berhasil menarik banyak pelanggan. Tapi daerah perumahan itu merasa terganggu, karena setiap hari dari rumah itu selalu terdengar tangis bayi lelaki.
Keganjilan ini tentu mengusik hati penduduk perumahan. Mereka selalu membicarakannya di setiap kesempatan dan mempertanyakan siapa ayah bayi lelaki itu. Mempunyai bayi tanpa seorang ayah, tentu sangat tidak lazim. Setelah yang berwenang turun tangan dan menerangkan, bahwa wanita cantik pemilik toko jamu itu sudah diceraikan oleh bapak bayi lelaki, masyarakat pun berbalik mengasihi janda beranak satu itu. Mereka bahkan selalu datang membantu jika ada kesulitan. Dan tak jarang duda-duda kota ini berdatangan untuk melamar janda cantik penjual jamu itu. Tapi sampai akhir hayatnya, janda cantik itu tetap membesarkan bayi lelakinya sendirian.
Dari hari ke hari toko jamu di samping rumah di daerah perumahan itu berkembang pesat seiring dengan pertumbuhan si bayi, yang dipanggil Arsyad. Setiap pergi ke sekolah Arsyad selalu bersepeda. Hatinya ramah terhadap siapa saja, walaupun sering diledek "Siapa bapak kamu, Arsyad?" Dia akrab dengan anak-anak badung di terminal, pasar, dan stasiun. Bahkan dengan anak sungai, sebutan bagi anak -anak dari perkampungan kumuh di seberang sungai, yang selalu berselisih dengan anak perumahan, kelompok dari daerah perumahan, tempat kawan-kawannya tinggal.
Setelah lulus sekolah lanjutan atas, Arsyad meneruskan kuliah di ilmu pendidikan di kota besar terdekat. Tapi baru saja program sarjana muda dilewatinya, ibunya meninggal karena suatu penyakit. Dengan berat hati dia memutuskan pulang untuk meneruskan usaha ibunya sambil mengajar di sekolah lanjutan dan menikah dengan pacarnya dari zaman cinta anak sekolah.
Usahanya diperlebar. Kalau istrinya mengurus toko jamu, dia mulai menekuni usaha peragenan koran dan majalah. Kedua usaha itu berkembang pesat. Tapi ternyata Tuhan menentukan lain. Setelah mempunyai anak lelaki, Agus, istrinya meninggal ketika melahirkan bayi perempuan, Imas.
Kedukaannya ditinggal sang istri dibenamkannya pada usaha toko jamu dan agen koran-majalahnya. Loper-loper korannya yang rata-rata masih usia sekolah adalah hiburan sehari-harinya selain kedua anaknya, Agus dan Imas.
Setelah dia pergi menunaikan ibadah haji, tampaknya uang sudah bukan tujuan hidupnya lagi. Segala keuntungannya selalu didermakan untuk kepentingan umum. Tampaknya dia sudah menemukan kebahagian bersama Agus dan Imas, juga anak-anak asuhnya yang dibiayainya sekolah atau dijadikannya sebagai loper koran. Terbukti sampai akhir hayatnya dia tidak beristri lagi.
Tiap sore di musala di halaman belakang rumahnya yang luas dan besar di daerah perumahan pinggir kota, Pak Haji mengajar anak-anak atau siapa saja yang tidak mampu membaca dan mengaji. Sebagai bayarannya, mereka disuruhnya mengurusi kebun, menyirami tanaman di halaman, membersihkan rumah, atau sesekali melayani pembeli di toko jamunya.
Ada kalimat yang sering dilontarkannya hampir setiap saat pada semua anak asuhnya. "Hati-hati terhadap uang, karena selain untuk alat tukar-menukar, uang bisa memperbudak kita, manusia, yang menciptakan uang itu sendiri. Malah uang kadang bisa memecah belah persahabatan, juga persaudaraan. "
Ipul sangat setuju dengan petuah Pak Haji itu. Banyak contoh di bumi ini yang jadi korban gara-gara uang. Dirinya saja terlahir ke bumi tidak karena dilandasi rasa cinta dan kasih, tapi semata-mata karena uang. Dan karena tidak ingin diperbudak uang pulalah, kenapa Pak Haji hidup sederhana. Di ruang tamu Pak Haji tidak ada perabotan yang berlebih, yang sebetulnya layak buat orang sekaya dia.
Pak Haji sebetulnya bisa dijadikan contoh teladan warga kampung. Pada usia muda dia layak dicalonkan sebagai pemuda pelopor atau kepala desa pada masa tuanya. Tapi dia tetap memilih jadi orang sederhana, yang cuma ingin berbuat bagi sesamanya. Padahal dia sudah ikut berperan dalam pembangunan desa dan kota. Aparat pemerintah setempat tidak bisa berbuat apa-apa dengan segala kebaikannya.
"Kebaikan itu semata-mata ibadah. Tak perlu digembar-gemborkan, " kata Pak Haji bersahaja. "Malah kalau perlu, jika tangan kanan memberi, tangan yang kiri pun jangan sampai tahu," tambahnya tersenyum tulus ketika mengutip sabda Nabi.
Sebelum Ipul pergi dari kota itu, dia iseng-iseng menyindir Pak Haji agar menikah lagi. Ipul tahu bahwa semua wanita, atau bahkan janda cantik, begitu mendambakan untuk dipinang, dijadikan istri olehnya, seorang haji, duda kaya yang sederhana. Tapi Pak Haji cuma tersenyum menanggapi sindiran seperti itu.
Suatu hari, di tahun kedelapan perantauannya, Ipul menerima surat dari Imas. Isi suratnya selain mengabarkan kakaknya, Agus, yang baru saja menikah, ada yang membuatnya prihatin, walaupun sebelumnya dia sudah tahu apa yang sedang terjadi di kampung halamannya lewat koran dan televisi.
"Uang, uang ada di mana-mana, Ipul!" tulis Imas di suratnya. "Orang-orang seperti nggak percaya megang uang sebanyak itu!" Di kampung halamannya memang sedang terjadi boom harga tanah. Pemerintah memang sudah memutuskan, bahwa wilayah di kampung halamannya akan dijadikan daerah industri. Orang-orang sedang terbuai oleh lembaran uang ganti rugi tanah yang terkena perluasan daerah industri.
Hampir semua petani ganti profesi menjadi pedagang kagetan. Rumah-rumah semi permanen pun jadi berdinding bata dan berlantai marmer. Sepeda motor kini jadi kebanggaan anak mudanya daripada sepeda.

Episode 11
Tembang Kampung Halaman

"Awalnya Bapak menolak untuk menjual tanahnya, Ipul, walaupun dengan penawaran tertinggi!" Imas memberitahukan keadaan yang sesungguhnya di surat. Dari surat Imas-lah Ipul tahu kalau bapaknya adalah satu-satunya warga yang tidak mau menjual tanahnya. Akhirnya banyak teror yang ditujukan padanya, termasuk pemukulan terhadap Agus dan perampokan pada toko jamunya.
Yang membuat Ipul prihatin, Imas mengabarkan bahwa semua warga kampung seperti tidak peduli dengan kejadian itu. Mereka lebih asyik menghitung uang dan merencanakan untuk membelanjakan ini-itu, membangun rumah, dan pelesir ke kota-kota dan pulau wisata.
"Bapak nggak bisa bertahan sendirian, Ipul." Kabar dari Imas ini membuat Ipul prihatin. Dan dia semakin tidak berselera untuk pulang, ketika Imas menceritakan lebih banyak lagi. Selain daerah perumahan yang kena gusur, perkampungan kumuh di seberang sungai pun bernasib sama.
"Itulah kenapa akhirnya Bapak mengizinkan Imas kuliah di kota besar." Ini adalah kabar dari Imas setahun yang lalu, setelah dia kuliah ekonomi di perguruan tinggi swasta. Setelah itu, mereka tidak lagi berkirim surat. Kadang kala ada rasa bersalah pada diri Ipul, kenapa tidak bisa menyempatkan diri untuk menengok Pak Haji, yang sudah dianggapnya seperti ayah sendiri, sampai akhirnya telegram duka yang mengabarkan kematiannya itu datang tiga hari yang lalu.
Ipul menyadari, selain dirinya sendiri sudah terbawa arus dan kenikmatan yang ditawarkan kota besar, darahnya sudah tercerabut dari alam kampung halamannya. Bagaimanapun dia tidak bertuan. Tak pernah tahu siapa ayah, ibu, dan di mana dia dilahirkan. Baginya, rumahnya entah di mana. Tak pernah dia temukan di sajak-sajak, hutan belantara, langit, atau bintang-gemintang. Aku anak semesta. Bapakku matahari, ibuku bulan. Tapi aku tidak tahu siapa kakekku, begitu dia mengumpamakan siapa dirinya.
Apalagi ketika dia membaca di koran dan melihat di televisi, betapa traktor-traktor sudah meratakan persawahan dan ladang tebu, tempat dia pernah menghirup wangi tanah dan bermain-main di pematangnya. Tempat dia pernah menangis dan tumbuh bersama mimpi kanak-kanaknya. Dia pun semakin menggantungkan keinginannya untuk pulang menengok kampung halamannya.

Sekarang Ipul sedang bersimpuh luruh di makam Pak Haji, yang mengangkatnya dari selokan kotor ke tempat yang bersih dan terhormat. Seluruh tubuhnya bergetar. Dadanya berguncang dan kerongkongannya tersumbat. Segala sesuatu yang sudah diraihnya selama pengembaraannya di belantara kota, kini seperti tidak ada gunanya. Ternyata perubahan di kampung halamannya jauh lebih besar ketimbang yang ditulis Imas di surat, atau yang dia baca di koran dan yang dia tonton di televisi.
"Saya pulang, Pak Haji." Ipul menggenggam tanah merah basah itu. Mendekatkan ke bibirnya. Ingin rasanya dia menggali makam ini dan memeluk tubuh Pak Haji. Ingin menceritakan tentang kehidupan. Jurnalisnya.
Dari bibirnya meluncur doa-doa. Dia merasa yakin, jika betul apa yang dikatakan oleh Tuhan, tentu Pak Haji budiman ini tempatnya adalah di surga. Di taman indah bernama firdaus. Hidup Pak Haji selalu diperuntukkan bagi orang lain. Selalu menolong orang yang membutuhkan.
Ipul terlempar ke waktu, ketika diutarakannya impiannya untuk jadi wartawan pada Pak Haji. Tanpa uluran hati Pak Haji, yang menitipkannya pada seorang budiman yang lain, Pak Haji Burhan di kota besar, Ipul yakin tidak akan menjadi seperti ini: seorang mahasiswa yang nyambi jadi penulis lepas.
Ipul mendongak ketika mendengar suara daun diinjak orang. Gemerisik mengusik hatinya. Dia melihat seorang gadis berdiri menatapnya. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai. Cantik bagai putri dari kaki gunung dalam kisah-kisah dongeng.
"Kamu, Imas?" Ipul tidak percaya sekaligus merasa kagum. Sepertinya, gadis kecil itu dalam sekejap saja menjelma jadi seorang putri cantik.
Imas mengangguk. Dan kini giliran Imas yang dibuat heran. "Kamu, Ipul?"
Ipul mengangguk dan berdiri sambil terus mengagumi pesona alami di depannya.
Imas agak kikuk juga dipandangi seperti itu, walaupun hatinya terkesiap melihat pemuda gagah di depannya. Betapa pangling. Rasanya dia belum percaya kalau pemuda gagah ini adalah bocah cerdik hitam dekil, yang selalu berkeras kepala untuk bisa membaca dan menulis.
Tapi wajah Imas langsung berubah bagai langit mendung. Sebentar lagi hujan pasti akan turun dari kelopak matanya dan butiran air menyusuri pipinya yang putih.
"Maafkan saya, Imas." Ipul menunduk. Dia tersadar bahwa dirinya berada pada posisi tersudut.
Imas terisak-isak.
Angin berkesiur lagi di pekuburan. Semakin melenakan tubuh-tubuh yang tertidur panjang di perut bumi.
"Kapan datang, Ipul?" suaranya tertahan.
"Kemarin sore."
"Tidur di mana?"
"Di penginapan. " Ipul merasa tidak enak menyebut nama penginapan itu.
"Kenapa tidak datang ke rumah?"
"Saya belum tahu rumah kamu sekarang, setelah penggusuran tanah itu."
Imas mengangguk pelan. Mencoba untuk mengerti. Tapi dia tetap berkeras, "Kamu kan bisa tanya-tanya, Ipul. Kota ini kan nggak seberapa besar."

Ipul semakin merasa tersudut. Dia mencoba menguatkan hatinya. Ditatapnya Imas. "Bagaimanapun, saya tidak pernah merasa punya tempat tinggal di sini. Kamu pun tahu, Imas, kalau sejak dulu saya terbiasa tidur di mana saja," katanya sambil meminta pengertian.
Angin berkesiur lagi menerbangkan daun-daun kering dari pangkalnya yang rontok ke pangkuan bumi.
Imas mendekati makam bapaknya. Menaburkan bunga di atasnya. Katanya hampir berbisik, "Bapak sangat bangga padamu, Ipul. Setiap tulisanmu dimuat di majalah, Bapaklah orang yang pertama mengabari kami, tetangga, dan juga menunjukkan pada semua loper korannya agar mereka kelak mencontoh kamu."
Ipul tergetar mendengamya. Darahnya terasa hangat dan tengkuknya merinding. Dia merasa bulu kuduknya berdiri. Tubuhnya tiba-tiba menggigil.
"Di saat Lebaran, Bapak selalu mengharapkan kamu pulang. Jika tidak, Bapak bilang, Lebaran tahun depan kamu pasti pulang. Tapi, kenyataan itu tidak pernah kesampaian, sampai Bapak dipanggil Tuhan."
Napas Ipul terasa berat. "Saya memang anak yang tidak tahu berterima kasih. Anak yang tidak tahu diri. Saya memang Malin Kundang abad sekarang," Ipul menyalahkan dirinya sendiri.
"Bapak betul-betul mengharapkan kamu pulang, Ipul," Imas terus saja bicara tentang bapaknya.

Episode 12
Tembang Kampung Halaman

"Saya memang bersalah, Imas." Dadanya semakin terimpit.
Imas membalik. Berjalan meninggalkan makam. Ipul seakan tersadar, bahwa seorang wanita haruslah dilindungi. Dikasihi. Diberi perhatian lebih. Dalam keadaan suka, terlebih-lebih dalam duka. Dia jadi teringat petuah Pak Haji, "Kita harus menjunjung tinggi, melindungi, dan menghormati wanita. Karena dari wanitalah kita bisa menghirup udara bumi. Sembilan bulan mereka menyabung nyawa untuk melindungi kita yang masih dalam kandungan." Itulah sebabnya kenapa dia peduli pada Mbok Kasiyem, Maisaroh, atau Imas, karena dia tidak pernah merasa memiliki seorang wanita yang pernah mengandungnya.
Ipul menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya agar tanah merah yang masih menempel berjatuhan. Dia mengejar Imas. Dijajari langkahnya. Suara langkah kaki mereka bergema di sudut hati mereka.
"Maafkan saya, Imas." Kalimat ini seperti sudah ribuan kali diucapkan Ipul.
Imas menatapnya sekejap.
"Saya bingung, harus mengatakan apa, Imas." Ipul merasa pasrah.
Tanah pemakainan tertinggal di belakang mereka, tapi tetap seperti melambai-lambai, menunggu kedatangan mereka pada saat yang lain.
"Kapan kembali ke kota, Ipul?" Imas menunduk, seperti menghitung hari-hari selanjutnya, yang kemudian juga harus dilaluinya.
"Mungkin saya akan tinggal sampai lusa."

"Mau mencari masa lalu?"
Ipul melontarkan napasnya. Dia tidak mengiyakan pertanyaan Imas, yang kedengarannya seperti melecehkan. Tapi dalam hatinya dia membenarkan. Bagaimanapun, masa lalu akan jadi bagian hidup dari seseorang. Kadang kala masa lalu bisa jadi panutan, karena di dalamnya ada perjalanan panjang sebuah sukses.
Bagi Ipul sendiri, masa lalunya adalah "keringat" atau "perkelahian". Masa lalu yang kadang ingin dibuangnya ke jurang bumi. Tapi di sisi lain, dia ingin mengumpulkan masa lalunya yang berceceran untuk diberi bingkai dan digantungnya di dinding kamar kontrakannya yang sempit. Untuknya jika berkaca nanti.
"Kalau betul ingin mencari masa lalu, Ipul, itu tak akan pernah kamu temukan. Kota ini sudah berubah." Imas memandang ke depan.
"Ya, kota ini memang berubah, Imas. Tapi, masa lalu tetap tidak berubah. Kenangannya tetap abadi," Ipul mengatakan pendapatnya. "Tak akan mati dimakan zaman."
Sinar matahari pagi menerobos lewat sela-sela batang-batang dan dedaunan mahoni yang masih dibiarkan tumbuh di jalan-jalan kota. Cahayanya menyentuh permukaan kulit Imas yang kuning langsat. Menghangatkan hatinya yang nelangsa.
"Kamu akan kecewa, Ipul." Imas berhenti di dekat persimpangan. Menunggu angkutan kota lewat.
Imas berkata sesungguhnya. Wajah lama kota ini memang sudah tidak ada. Daerah perumahan dan perkampungan kumuh di seberang sungai dan lahan-lahan produktif sudah dari awal menandakan perubahan kota, sehingga untuk perluasan kota dan mengantisipasi laju kaum pendatang yang menyerbu kawasan industri, pasar Inpres diremajakan di tempat lain. Terminal bus diperbesar supaya daya tampung kendaraan memadai. Dan angkutan kota berbentuk mini bus pun sudah berkeliaran di ruas jalan kota yang masih sedikit. Becak jadi pilihan kedua. Apalagi setelah beberapa jalan utama kota terlarang bagi yang namanya becak, komplet sudah penderitaan si abang becak setelah nasibnya terpuruk di beberapa kota-kota besar.
Imas naik ke angkutan kota, yang trayeknya bisa diatur sesuai dengan keinginan penumpang. Sehingga jangan heran jika ada penumpang yang tujuannya dekat dibawa keliling kota dulu karena si sopir harus mengantar penumpang yang lain. "Kamu mau berdiri terus di situ, Ipul?" berkata Imas dengan tenang.
Ipul pun serba salah ikut naik ke angkutan kota.
"Kaum!" Imas menyebutkan tujuannya.
"Tapi ke Pajagalan dulu, ya!" kata si sopir.
Imas menggerutu, tapi tidak menolak. Berarti harus melambung dulu ke utara kota.
"Kamu tinggal di Kaum sekarang?" Ipul berusaha mengingat-ingat daerah agamais itu. Kampung yang tak pernah melepaskan setiap detak harinya dengan kehidupan religius.
"Agus yang kepingin menetap di situ. Ada rumah kecil yang kebetulan sesuai dengan seleranya."
"Kabar Agus, bagaimana?"
"Tadi pagi dia ke puskesmas. Anaknya demam."
"Agen koran majalahnya, masih, kan?"
Imas mengangguk. "Tapi nggak seperti dulu. Sekarang daripada baca koran, Ipul, mereka lebih asyik nonton televisi swasta! Pemudanya juga lebih rela menghabiskan uangnya di warung-warung pojok di sekitar pabrik daripada dibeliin koran atau majalah! Apalagi setelah ada agen-agen lain." Dengan tenang dia membeberkan perkembangan usaha warisan ayahnya, yang kini diteruskan oleh Agus.
Ipul cuma menyimpan keprihatinannya di dalam hati. Tapi dia tak bisa melakukan apa-apa dengan perubahan yang terjadi di kampung halamannya; pada Agus dan Imas. Mungkin juga pada Mardi, Ramli, Maisaroh, dan pada semua yang pernah hadir di masa lalunya.
Ipul mungkin merasa ini adalah saat yang penting dalam hidupnya; merasakan lagi yang pernah terjadi pada satu sisi hidupnya. Dan dia yakin, sampai kapan pun kota yang disebutkannya pada orang-orang sebagai "kampung halaman", tempat asalnya, besar, menangis, dan bermimpi, akan selalu tersimpan di hatinya. Seperti sebuah tembang lama yang merdu…..

Episode 13
Tembang Kampung Halaman

Di Atas Kereta Api Ekonomi
Ipul masih berdiri di pintu gerbong ketika kereta api ekonorni yang ditumpanginya mulai bergerak perlahan. Wajah-wajah yang mengantarnya pergi; Mardi, Maisaroh, Ramli, Sunar, Ikis, Asep, dan Ipeng dirundung kelabu. Muram semuram-muramnya. Dia mencoba memandangi mereka lagi sambil berharap Imas akan datang. Tapi Imas tetap tidak datang, seperti pada pesta pernikahan Mardi dan Maisaroh di penginapan kemarin malam.
Ipul menggesek-gesekkan kedua telapak tangannya. Dia masih bisa merasakan jari-jari lengannya lengket dan basah bekas air mata. Air mata kesedihan dari mata air yang jernih. Matanya. Dari jiwanya, yang kini tidak mempunyai siapa-siapa lagi di bumi ini.
Kereta api rakyat kecil ini semakin laju. Stasiun sudah jauh tertinggal. Ipul menyentuh kaca jendela kereta api. Pepohonan dan rumah-rumah berlarian. Pesawahan dan ladang-ladang tebu yang terselip di antara pabrik-pabrik masih menyisakan sedikit wewangian bagi hidungnya. Dia mencoba untuk terus menghirup bau harum kampung halamannya, karena merasa yakin tak akan pernah datang ke sini lagi.
"Ke kota, Nak?" sapa seorang lelaki tua di sebelahnya.
Ipul tersenyum dan mengangguk.
"Sangat berat, memang, meninggalkan kampung halaman. Apalagi untuk yang pertama kali. Seolah-olah kita seperti akan pergi jauh dan tidak kembali lagi."
Ipul cuma tersenyum dalam hati mendengar omongan pak tua tadi. Dia meraba-raba kaca jendela kereta api.
"Tapi kenapa harus pergi ke kota, Nak? Kampung halaman kan masih tetap lebih baik daripada jadi gelandangan di kota besar. Apalagi Bapak lihat pabrik-pabrik sudah dibangun. Kamu kan bisa kerja di pabrik. Cari kerja di kota itu susah. Nggak seperti yang diomongkan orang."
Ipul menepis saja ocehan pak tua itu lagi. Dia terus saja menatap ke luar jendela. Segala panorama di luar jendela kereta api dinikmatinya dengan perasaan bergetar. Kampung halamannya kini tinggal sebuah tembang, yang akan melagu rindu jika dikenang. Segala yang ada tentang kampung halamannya sudah dikemas rapi. Disimpan dalam benaknya. Tak akan aku datang ke sini lagi, batinnya melagu pilu.
Kereta kelas kebanyakan ini berguncang. Ipul terlonjak. Dia merasakan perih di bagian bibir. Diajilati bibirnya. Ada darah mengering di bibir bagian bawah. Itu bekas perkelahian dengan para Jagoan pasar.
Ipul melihat lagi ke luar jendela…..
"Ada berapa orang, Mas?" Ipul mencoba menghitung bayangan di kegelapan.
"Sembilan!" Mardi memastikan.
"Mereka anak sungai, Pul!" Ramli membisikinya.
Ipul tercengang. "Ada yang kukenal?"
"Beberapa saja!" Ramli menarik Ipul. Mereka menuju bayangan-bayangan yang bergerak ke sana kemari dengan gelisah. Ramli mencoba mengingatkan beberapa orang di antara mereka pada Ipul.
"Ipul?" Sunar menyalami ragu-ragu.
"Siapa, ya?" Ipul mengingat-ingat.
Sunar tertawa. "Tukang lotre!"
"Heh, kamu!" Ipul meninju bahunya. "Jadi apa kamu sekarang? Jadi bandar, hah!" ledeknya sambil tertawa ketika ingat kawan kecilnya, yang suka keliling kampung jualan lotre. Dengan lima puluh perak kita bisa membeli sebungkus kacang yang di dalamnya berisi nomor. Jika kita beruntung, bermacam hadiah bisa diperoleh. Ada rokok buatan luar negeri, minuman kaleng, sandal jepit, pulpen, dan lain sebagainya.
"Si penjaga Maisaroh rupanya! Pangling aku!" Sunar mencoba mengenali wajah sobat lamanya dalam cahaya remang-remang. "Kayaknya hidupkamu makmur juga ya, Pul!" Tawanya terdengar lagi. "Aku sekarang jadi kondektur bus!" Dia menyebutkan nama bus antar kota. "Katanya kamu jadi wartawan sekarang!"
Ipul mengangguk dan tertawa keras. Kegembiraan masa kanak-kanak pun muncul lagi begitu beberapa orang merubungnya. Ada Ikis, Asep, dan Ipeng. Mereka saling berangkulan dan melepas rasa kehilangan. Suasana persaudaraan dan kebersamaan pun menyelimuti lagi, seperti ketika masih sama-sama dipanggil anak sungai.
"Pada mulanya aku nggak percaya ketika Ramli cerita kamu pulang." Sunar bangga sekali melihat sobat kecilnya.
"Aku berdiri di belakangmu, Pul," Ikis, yang kini jadi buruh pabrik menyambung. "Derita Maisaroh atau kamu, adalah derita kita juga, anak sungai!"
"Malang nian nasib Maisaroh!" Asep, kini penjaga bioskop, mengepalkan tangannya. "Malam ini semuanya harus terbalaskan. Anak sungai boleh saja cerai-berai, tapi persatuannya tetap abadi!" katanya bergelora.
"Kalau saja kita tahu dari dulu," Ipeng, kini penjaga toko, menggerutu, "masalah ini nggak akan berlarut-larut!"
Rencana untuk membalas dendam kepada para jagoan pasar, pemerkosa Maisaroh, sudah mengeras bagai letupan gunung. Mereka tidak punya pertimbangan apa-apa lagi selain menyalurkan keangkaramurkaan yang terpendam bertahun-tahun. Segala rasa ketertekanan oleh kekerasan hidup; kemiskinan dan suramnya masa depan, seperti mendapat penyaluran yang sempurna malam ini.

"Mereka biasanya ngumpul di warung pojok," kata Mardi mulai mengatur siasat. "Kamu, Ipul," perintahnya, "ditemani Sunar, Ramli, Ipeng, Asep, dan Ikis, periksa bagian timur. Yang lainnya ikut aku!"
Mardi menambahkan, "Ingat! Kalau bajingan-bajingan itu ketemu, kita pancing mereka ke Astana!" Mardi menyebutkan tempat pemakaman kota. "Awas, jangan nyari keributan di sana!"
Sang dewi malam tampaknya harus bersedih, karena kegelapan akan berubah jadi panas dan membara.
Ipul merasakan getaran yang hebat di dadanya, ketika melihat lampu kerlap-kerlip di warung-warung di sepanjang jalan menuju lokasi pabrik. Petualangan seperti malam ini sudah tidak pernah dilakukannya lagi. Apalagi bersama anak sungai. Telinganya kontan terasa panas ketika terdengar gelak tawa pengunjung, yang menggodai wanita-wanita pelayan, bercampur dengan asap rokok dan alkohol. Irama disko dangdut pun saling bersahutan dari setiap warung. Semua saling berlomba; bising membubung ke angkasa. Ini dunia yang tak beraturan.
Ramli menunjuk ke sebuah warung yang tidak begitu banyak pengunjungnya. Ada dua-tiga lelaki mabuk berjoget ditemani wanita dengan rok mini ketat di tengah ruangan. Di meja sudut ada tiga orang sedang asyik memeluk pasangannya. Beberapa botol bir sudah bergeletakan di meja. Di sudut yang lain tersisa dua wanita ber-make up tebal, duduk gelisah menanti tamu yang lain.

Episode 14
Tembang Kampung Halaman

Ipul merasa dadanya berdebur tidak keruan. Dia betul-betul tidak percaya kalau kampung halamannya sudah berubah seperti ini. Daerah ini dulu pinggiran kota dengan irigasi yang jernih mengaliri pesawahan. Jika ada waktu di sore hari, Ipul menjala ikan bersama Agus di saluran irigasi ini. Tapi setelah cerobong pabrik menyemburkan asap hitamnya; saluran ini berubah mengalirkan sampah, sumpah, dan serapah. Malahan nilai-nilai moral manusia pun hanyut di sana….
Ramli mendekatkan bibirnya ke telinga Ipul. "Merekalah babi-babi itu!" Matanya tertuju ke meja di sudut ruangan.
Ipul menatap ketiga orang di sudut ruangan itu. Darahnya langsung terbakar; menjalar sampai ke ubun-ubunnya. Bertahun-tahun dia menanti saat seperti ini tiba. Pembalasan. Hukum rimba akan berlaku malam ini, batinnya geram.
"Ingat, Pul, jangan di sini," Ramli memperingatkan begitu melihat Ipul gelisah.
"Aku nggak janji!" Ipul meremas-remas jemari lengannya.
Sunar dan Ikis sudah menggandeng dua wanita yang tersisa tadi. Mereka berjoget pula. Sedangkan Ipeng dan Asep mengambil meja persis berseberangan dengan tiga jagoan pasar itu. Salah seorang jagoan pasar, memakai ikat pinggang besar dengan gesper berbentuk tengkorak, berdiri menggandeng pasangannya. Pasangan yang sudah bergelora itu masuk ke ruangan belakang sambil tertawa-tawa.
Ipeng sengaja berteriak-teriak ketika memesan bir. Asep pun menimpali. Mereka membikin gaduh. Malah menjaili pelayannya dengan kasar.

"Heh, berisik!" hardik jagoan pasar yang berkumis. "Emangnya warung ini punya pantatmu!" Ipeng tertawa keras.
"Anak sungai, bertingkah!" Si Kumis berdiri geram, tapi dicegah oleh pasangannya dengan manja.
"Heh, tikus pasar ngajak ribut, ya!" giliran Asep menantang.
Ipeng berdiri. Ulahnya semakin menjadi. Berjoget mengelilingi meja jagoan pasar sambil memukul-mukul botol bir dengan sendok. Bunyi dentingannya cukup mengganggu juga.
Ramli menahan ketawanya.
Ipul cuma duduk dengan gelisah. Dia sedang menunggu kelanjutannya.
Si Kumis semakin geram dipermainkan begitu oleh anak sungai, yang menurut mereka masih tetap saja anak-anak kencur. Dia bersungut-sungut pada kawannya, yang memakai cincin batu. Tapi mereka mencoba menahan diri. Mereka berbicara pelan. Mungkin kalau terlibat perkelahian dengan "anak bawang", reputasi mereka sebagai jagoan pasar akan tercoreng. Padahal waktu berjalan terus. Anak sungai itu pun sekarang bukan anak kemarin sore lagi. Sudah sama beringas dan liarnya seperti mereka, para seniornya.
"Minum dulu, Pul." Ramli menuangkan minuman.
Ipul meneguknya setengah. "Aku nunggu di luar. Di sini hawanya bikin panas!" Dia berdiri.
Saat itu pula si Kumis berdiri menggandeng pasangannya, hendak meniti anak tangga ke surga di ruangan belakang. Mereka bertabrakan. Ramli tahu kalau sebetulnya Ipul sengaja memanfaatkan situasi itu untuk membuat gara-gara. Karena terlalu banyak minum, si Kumis terhuyung-huyung kena dorong Ipul.
"Anak bawang, bangsat!" si Kumis memaki.
Ipul malah menyerobot. Mencekal kerah bajunya. Memepetnya ke tembok. "Heh, koboi tua! Sekali lagi memaki kayak tadi, rasain nih!" Kedua lengannya mencekik leher dan langsung menghujamkan bogemnya ke wajah si Kumis.
Si Kumis mengerang. Melihat kawannya terdesak, si Cincin Batu bermaksud membokong Ipul, tapi kaki kanan Ipeng mengaitnya hingga jatuh tersungkur. Tanpa mempedulikan aturan Mardi, Ipul mendaratkan kepalannya lagi ke si Kumis. Para wanita penghibur menjerit-jerit. Ikis dan Sunar sudah siap-siap menjaga kemungkinan yang lain di pintu depan. Beberapa lelaki di dalam ruangan dan dua orang petugas keamanan muncul melerai mereka.
"Kurang ajar!" sungut si Cincin Batu sambil mencoba membalas, tapi ditahan oleh seorang petugas.
Si Kumis mengusap darah yang mengucur di hidungnya. Matanya berubah liar. Dia mencoba menghilangkan pengaruh alkohol yang menggerayangi kepalanya. Bentaknya, "Heh, Anak bawang! Nyalimu besar juga!"
Ipul balas menatapnya dengan geram.
"Aku kenal mereka-mereka ini. Kecoak semuanya!" Si Kumis membebaskan diri dari pegangan petugas keamanan sambil menunjuk Ramli, Ipeng, Ikis, Asep, dan Sunar. "Tapi, kamu! Siapa, heh! Anak baru, ya! Awas, jangan coba-coba nyari perkara di sini!"
Tanpa diduga si Gesper Tengkorak keluar dari pestanya dengan terburu-buru. Seseorang mengusiknya tadi dengan berita perkelahian di ruangan depan. Sambil bersungut-sungut dia menyerobot dan berhasil menghajar wajah Ipul.
"Aduh, sudah, dong!" jerit seorang wanita. "Kasihan sama kita-lah yaa!"

"Kalau mau ribut, di luar sana!" pekik yang lain.
"Wah, kita nggak kebagian tamu, deh!"
"Aduh, kayaknya malam kelabu, nih!"
"Apes deh rejeki kita!"
Ipul meraba bibirnya yang sobek. Darah segar terasa lengket di jarinya. Dadanya turun-naik menahan gejolak liarnya. "Aku tunggu di Astana, heh, koboi tua!" tantang Ipul sambil meninggalkan warung.
Sunar membayar beberapa botol bir.
"Di Astana, jangan lupa!" teriak Asep mengulangi.
Ipeng dan Ikis bernyanyi-nyanyi sambil berjoget.
"Kita mau bikin perhitungan!" Ramli tersenyum sambil mengepalkan lengannya.
Si Kumis memaki-maki karena hidungnya berdarah. Si Gesper menuntunnya untuk duduk. Para jagoan pasar itu pun berembuk dengan berang. Si Kumis beberapa kali menggebrak-gebrak meja. Bahkan satu botol bir dibantingnya ke lantai.
"Heran aku!" Si Kumis menggeleng-gelengkan kepalanya. "Setan mana yang bikin mereka bertingkah begitu!"
"Mereka cari penyakit!" si Cincin Batu menyambung.
"Katanya mereka mau bikin perhitungan!" Si Gesper menenggak minuman.
"Perhitungan apa?"
"Kita nggak pernah bikin perkara sama anak sungai!"
"Heh, bukankah anak sungai sudah nggak ada?"
"Buktinya malam ini mereka ada!"
"Mungkin mereka reuni!"
"Ngapain reuni ? Setiap saat mereka bisa reuni di sini!"
"Nggak bakal tanpa si anak dekil itu!"
"Anak dekil yang mana?"
"Yang suka ngejagain si Maisaroh!"

Episode 15
Tembang Kampung Halaman

Tiba-tiba wajah mereka berubah tegang. Dada mereka berguncang hebat. Serempak mereka mengisi lagi gelas-gelas dengan minuman. Bahkan meminta beberapa botol lagi. Lalu dengan kasar mengusir para pelayan agar tidak mengusik acara mereka.
"Apa betul kita nggak pernah bikin perkara sama anak sungai?" Si Gesper Tengkorak menatap si Kumis. "Kamu yakin?" Kini ia melirik ke si Cincin Batu.
"Maisaroh?" si Cincin hati-hati bicara.
"Ah, itu lagu lama. Mereka masih ingusan waktu itu!" Si Kumis membanting gelasnya ke meja.
"Lantas kenapa mereka nyari penyakit tadi?"
"Siapa tadi kecoa yang menghajarmu?! Anak setan?"
Si Kumis berdiri. Kedua lengannya bertumpu pada meja. "Kita cari jawabannya di Astana!"
"Ah, ngapain sih ribut sama anak kecil!" Si Cincin ciut nyalinya.

"Kenapa kamu!" hardik si Kumis. Dia menatap si Gesper lekat-lekat. "Kamu juga!" Lengannya menggebrak meja.
Si Cincin dengan berat hati mengikuti keinginan si Kumis. Hatinya merasa tidak enak. Sesuatu pasti akan terjadi malam ini. Lalu dia teringat pada keberanian anak gondrong yang menghajar si Kumis tadi. Siapa anak itu? Tak pernah dia melihatnya berkeliaran di jalan-jalan kota, seperti juga anak dekil pemimpin anak sungai, selama sekian belas tahun belakangan ini, yang menurut kabar pergi merantau ke kota. Apakah anak dekil itu ada hubungannya dengan lelaki gondrong tadi? Ah, mustahil!
Hati si Cincin semakin berdebar waswas ketika sesampainya di Astana ada beberapa bayangan orang melebihi jumlah yang tadi dilihatnya di warung. Dia menghitungnya. Dua belas orang. Berarti satu lawan empat. Lututnya gemetar.
Sang dewi malam begitu sedih. Dia hendak menangis melihat wajah buminya yang centang perentang. Untung awan melindunginya, sehingga dewi malam yang jelita tak sempat menyaksikan ulah anak -anaknya.
Pekuburan kota ini betul-betul akan bergolak.
"Hmm, rupanya sudah direncanakan, ya!" Si Kumis pantang digertak. "Mana pemimpinnya!" teriaknya.
"Aku!" Mardi maju beberapa langkah. Dia menyuruh yang lainnya untuk melingkar.
"Rupanya kamu, Mardi!" Si Kumis bisa mengenali lelaki di depannya dalam suasana temaram.
"Sebetulnya ada apa, Mardi?" Si Cincin maju.
"Kita nggak pernah bikin masalah sama kamu!" Si Gesper mencoba untuk tenang. "Tapi sekarang kamu bikin masalah! Terutama sama anak sungai!"
Si Cincin meminta pendapat kawannya. Katanya ketakutan, "Ini malam pembalasan dari mereka."
"Maisaroh?" Si Gesper kini semakin ciut.
"Ya, Maisaroh! " Mardi mendengarnya tadi.
"Tapi itu kerjaan Endul!" Si Gesper menunjuk si Kumis.
"Apa? Aku? Ihim!" Si Kumis mencekal leher si Gesper.
"Ya, Endul! Aku cuma ikut-ikutan!" giliran si Cincin yang minta diampuni.
"Bedebah kamu, Engkos!" Si Kumis hilang kesabarannya. "Kalian semua bedebah!" Dia menyerang Mardi.
Akhirnya pembalasan itu pun tiba. Tiga jagoan pasar pun mengerang, merintih, dan bersimbah darah dihukum oleh anak sungai atas perbuatannya terhadap Maisaroh. Bagi mereka hukum rimba lebih efektif ketimbang hukum yang tertulis di buku tebal. Itu semua untuk yang makan sekolahan. Tidak untuk mereka, anak sungai, yang milik semesta.
Mardi jadi sang algojo malam ini. Dia membeset satu telinga Endul untuk cendera mata. Menggores wajah Ihim dan Engkos dengan pisau sehingga meninggalkan garis melintang di sepanjang pipi. Bekas-bekas seperti itu tentu sebagai tanda, bahwa mereka pernah menjadi orang taklukan.
"Kalau masih ingin bikin perhitungan, kalian tau harus datang ke mana nyari aku!" Mardi menantang mereka. "Atau kuundang saja kalian ke pernikahanku dengan Maisaroh. Besok malam. Di penginapan!" Mardi menendang perut Endul untuk yang terakhir kali.

Ipul mendekati tubuh-tubuh yang menggeliat kesakitan itu. "Kalian masih ingat aku?" Wajah Endul diangkatnya. "Aku, si penjaga Maisaroh!" bentaknya, dan diempaskannya tubuh itu ke tanah lagi. "Kalau masih kudengar kalian mengganggu Maisaroh, anak sungai nggak akan tinggal diam!"
Mereka melangkahi para jagoan pasar yang teronggok bagai karung pasir. Tak berdaya, termakan oleh perbuatannya sendiri. Rasa dendam lunas sudah malam ini.
Sang dewi malam menggeliat. Dia masih bisa mengintip di balik jubah awan. Lalu betul-betul menangis melihat anak-anaknya yang selalu berselisih paham. Kapan anak-anakku hidup dalam damai, bisiknya pada sahabatnya, bintang-bintang.
Malam yang membara kembali tertidur nyenyak.
Kereta api ekonomi berguncang lagi. Bunyi remnya berderit. Kini laju kereta mulai perlahan.
"Bapak turun di depan," pak tua itu mengambil sekeranjang buah-buahan. "Mau nengok cucu," katanya tersenyum bahagia.
Ipul tersentak. Dia merasa malu, karena selama ini tidak mempedulikan pak tua di sebelahnya.
"Ingat, cepat-cepat pulang ke kampung halaman daripada jadi gelandangan di kota!" Pak tua itu tersenyum lagi.
Ipul mengangguk dan balas tersenyum.
Kereta api yang sudah bobrok ini berjalan lagi. Ipul masih bisa melihat pak tua itu tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Ipul juga melakukan hal yang sama.
Laju kereta murah ini semakin cepat.
Kini seorang ibu tua duduk di sebelahnya, menggantikan tempat pak tua tadi. "Baru nengok kampung halaman, Nak?" sapa ibu tua itu.
Ipul mengangguk.
"Kerja di kota? Atau sekolah?"
"Sekolah."
"Hati-hati, ya, Nak, sekolah di kota itu," si ibu langsung menasihati seolah-olah ia anak lelakinya yang nakal. "Suka banyak godaan. Terutama pergaulan bebas, perkelahian, dan narkotikanya. Kalau Anak salah bergaul, wah, sanak saudara di kampung halaman akan kecewa sekali.
"Kasihan kan orangtua Anak, yang sudah susah-susah menjual sawah dan kerbaunya. Betul begitu kan, Nak?"
Ipul tidak mendengarnya. Dia terus saja melihat ke rumah-rumah dan tiang listrik yang berlarian

Episode 16
Tembang Kampung Halaman

"Bulan madu ke mana, nih?" Ipul menyalami Mardi begitu akad nikah sederhana selesai.
Mardi tersenyum ke arah Maisaroh.
"Kami akan pindah ke desa, Pul," kata Maisaroh. Matanya berkaca-kaca. "Pulang ke kampung Mas Mardi. Di sana kan Mas Mardi masih punya sawah warisan."
Mardi mengangguk -angguk.
Ipul memeluk bahu Maisaroh. "Aku bahagia sekali mendengarnya, Maisaroh."
"Kamu akan terus ke mana?"
"Kembali ke kota."
"Nerusin kuliah?"
"Masih jadi wartawan, kan!"
"Bibirmu kenapa, Pul? Berkelahi sama siapa?"
"Sama musuh lama. Nostalgia-lah!"
Tawa pun meledak.
"Imas datang, nggak?" Maisaroh mencari-cari.
"Aku sudah mengundangnya," Ipul kecewa sekali.
"Besok pulang naik kereta, kan, Pul?"
"Mungkin Imas ke stasiun besok!"
"Boyong aja Imas ke kota, Pul! Jadiin bini!"
"Husss!"
Orang-orang tertawa lagi.
"Cinta kamu ditolak, kali, ya!"
"Heh, kamu!"
"Mana mau Imas sama wartawan! Wartawan kan..."
"Heh, wartawan apa? Ayo, bilang!"
Ipul sudah pasrah kalau Imas akan melupakannya. Imas memang berhak menghukumnya. Dia tidak bisa melakukan pembelaan apa-apa untuk hal ini. Mungkin yang terbaik adalah melupakan segala sesuatu yang "dimiliki" dan "memiliki"-nya di kampung halaman.
Di stasiun pun pada saat menjelang keberangkatannya, Ipul sudah tidak berharap banyak Imas akan datang. Walaupun dia berharap kejadian seperti sepuluh tahun yang lalu berulang. Saat itu semua orang-anak sungai dan anak perumahan-mengantarnya ke stasiun. Kecuali Maisaroh, yang raib entah ke mana. Sekarang, malah Maisaroh yang melepasnya pergi. Tak ada Agus dan Imas.
Ipul menyenderkan wajahnya ke kaca jendela kereta api. Dia begitu nelangsa. Tanpa diduga air mata menelusuri pipinya.
"Kenapa, Nak?" Ibu tua itu merasa prihatin.
Ipul menatapnya. Dia mengusap matanya yang basah. Dia berkata, atau mungkin cuma bergumam, pada entah siapa, "Saya tidak punya siapa-siapa lagi sekarang."
Kereta terus melaju.
Ipul kini merasa hidupnya sedang bermula di atas sebuah kereta api ekonomi












TEMBANG KAMPUNG HALAMAN

 GOLA GONG






READ MORE - Tembang kampung halaman

Total Tayangan Halaman

Mari Silaturahmi

Follower

My Blog List

Popular Posts

Share